Kamis, Januari 08, 2009

Keterpurukan General Motors




































































Berbagai faktor baik yang bersifat eksternal maupun internal telah membuat General Motors, salah satu perusahaan otomotif Amerika yang terkemuka mengalami keterpurukan di tengah-tengah krisis ekonomi saat ini. Situasi itu digambarkan secara apik oleh Jess Bachman.

Sumber:
http://mydigitalwhiteboard.wordpress.com

Senin, November 24, 2008

Eksperimen Hawthorne menjungkir-balikkan Manajemen Ilmiah

  Terkait dengan artikel: Manajemen Ilmiah.

Selama sekian lama jawabannya ‘tidak ada’. Kemudian terjadilah adegan penelitian dramatis yang biasanya disebut ‘eksperimen Hawthorne’. Berikut ini adalah kisah tentang percobaan Hawthorne dan The Hawthorne Effect.

            Sebuah tim riset dari Universitas Harvard Amerika Serikat melakukan eksperimen mengenai dampak lampu penerangan terhadap kinerja berbagai kelompok pekerja di Pabrik Hawthorne, bagian dari perusahaan raksasa Western Electric Co. Demi kebutuhan manajemen ilmiah (yang dianut oleh para manajer maupun peneliti pada saat itu), penelitian dilakukan untuk meneliti kondisi tingkat pencahayaan yang sesuai dengan kebutuhan manusia tanpa sedikit pun pemborosan dan inefisiensi. Bagaimanapun, aspek efisiensinya bersifat tidak langsung. Namun apa yang terjadi, malah hal-hal aneh yang tidak bisa dijelaskan.

§         Tingkat pencahayaan ditingkatkan dan produktivitas melonjak.

§         Tingkat pencahayaan diturunkan dan produktivitas melonjak.

§         Tingkat pencahayaan diturunkan lebih rendah lagi dan produktivitas melonjak.

§         Tingkat pencahayaan ditingkatkan lebih tinggi lagi dan produktivitas melonjak.

            Kendati hasilnya sedikit bervariasi antar percobaan, jelaslah perubahan output tidak terpengaruh sama sekali oleh tingkat tingkat pencahayaan.

            Faktor apa yang mampu mendorong kenaikan produktivitas ini? Pekerja dalam berbagai kelompok yang diteliti diamati secara khusus oleh para supervisor dan peneliti. Suara mereka didengar. Mereka ditanya tentang saran-saran mereka untuk meningkatkan produktivitas dan diajak berpartisipasi dalam aspek-aspek kerja yang penting bagi mereka. Hasilnya? Angka absensi dan ijin sakit hanya sepertiga dari rekan-rekan mereka yang lain. Alasannya? Perilaku manusia dan perilaku sosial merekalah yang berperan di balik lonjakan produktivitas dan turunnya angka absensi/ ijin sakit. Bukan uang. Hasil penelitian ini dikenal sebagai ‘Efek Hawthorne’. Perwujudan gagasan manusia sebagai pengambil keputusan ini telah mendorong lahirnya berbagai teori motivasi berdasarkan kebutuhan individu, sebagaimana kini telah Anda akrabi (Maslow 1970; Herzberg, Mausner, dan Snyderman 1959; McGregor 1960).

            Contoh kasus lain dari penelitian yang sama makin mengejutkan para periset. Sebuah bank-wiring room diteliti untuk mengukur pengaruh skema insentif upah (wage-incentive plan) yang canggih. Berdasarkan asumsi Taylor, pekerja akan memaksimalkan upaya sesuai dengan imbalan ekonomis yang dia akan terima. (“Para pekerja adalah pekerja yang rasional dan ekonomis,” kata para manajer ilmiah). Ternyata hal itu tidak terbukti. Penelitian malah menemukan semacam organisasi dalam organisasi. Secara teoritis, pihak manajemenlah yang mampu mendiktekan angka-angka produktivitas. Namun pada praktiknya, ternyata kelompok kerjalah yang membuat aturan-aturan sendiri tentang produktivitas. Norma-norma kelompoklah (standar perilaku normal yang telah disepakati kelompok) yang menentukan tingkat prestasi kerja yang layak. Para pekerja secara individu menulis secara sembarangan laporan output harian, kendati akhirnya laporan mingguan tetap akan dibuat mencapai target.

            Wawancara yang dilakukan kemudian mengungkapkan bahwa kelompok kerja ternyata beroperasi di bawah estimasi kapasitas yang semestinya dan mereka berusaha tidak terlalu bekerja keras untuk menyelaraskan diri dengan ekspektasi kelompok. Mengapa? Ternyata hal ini menyangkut logika kelompok tentang sistem insentif. Bila Anda terlalu kerap mewujudkan prestasi terbaik maka lama-lama standar itu akan dianggap normal, dan tidak lagi memancing insentif. Selain itu, bila hal itu dilakukan maka akan terbukalah siapa-siapa para pekerja yang bekerja lamban. Mereka bisa ditegur, bahkan dipecat. Karena itu solusi manajemen kelompok adalah untuk mencari tingkat insentif yang dirasa adil (felt-fair rate). Prinsip-prinsip ini dijelaskan oleh Robbins.

Janganlah menjadi ratebuster dengan bekerja terlalu keras. Jangan juga bekerja terlalu sedikit. Jangan menjadi pemicu sanksi terhadap teman-temanmu.

Robbins (1992:97)

            Bagaimana kelompok meneguhkan prinsip-prinsip (atau norma) tersebut? Sebagaimana ditulis Robbins, jangan harap metode mereka lembut atau halus. Mereka tak segan-segan memakai senjata sarkasme, ejekan, penghinaan, bahkan sampai memukul lengan atas anggota yang dianggap menabrak norma-norma.

            Buktinya nyata. Para pekerja ternyata memiliki lebih banyak kendali atas pekerjaan mereka. Dalam eksperimen tentang tingkat pencahayaan di atas, terbukti individu memiliki kebutuhan psikologis untuk diakui dan berpartisipasi yang tidak tercakup dalam persamaan menurut aliran Taylor. Sebagai anggota kelompok, individu memiliki kebutuhan untuk menjadi bagian dan diterima sebagai anggota kelompok. Dalam kasus bank-wiring, kelompok kerja membuat strategi manajemen informal sebagai alternatif strategi manajemen formal yang dipaksakan melalui hierarki. Hal ini menggambarkan bahwa bila manajemen tidak bisa diandalkan untuk membuat aturan yang lebih fleksibel ketimbang yang bisa dicapai di bawah logika ekonomi rasional, maka para pekerja sanggup menciptakan hak-hak manajemennya sendiri. Kecenderungan kelompok untuk mengelola diri sendiri adalah Hawthorne Effect yang lain. Berdasarkan temuan ini, diteruskanlah penelitian mendalam tentang perilaku kelompok (Emery 1993; Tyson 1989). Banyak evolusi terjadi dalam penerimaan manajemen terhadap kelompok-kelompok yang mengelola diri sendiri semacam ini (Robbins 1992; Wellins, Byham, dan Wilson 1991). Kelompok-kelompok ini bahkan melegitimasi desain kerja mereka sendiri, yang disebut ‘Desain Partisipatif’ (Emery 1993).

            Hawthorne Effect membuktikan bahwa pekerja akan merespon praktik-praktik yang mengakui dan menjunjung tinggi keberadaan mereka, bagaimana mereka bisa membantu orang lain, dan bagaimana manajemen bisa membantu mereka. Uang memang akan memuaskan kebutuhan fisik. Namun, pengakuan dan kebebasan personal akan memenuhi kebutuhan pekerja untuk memberi kontribusi, memecahkan masalah, dan mendorong konflik dan ketegangan positif yang mengarah pada problem solving secara kreatif. Semua ini pada gilirannya mendongkrak lonjakan produktivitas.

Perubahan mindset dari mengendalikan menjadi memberdayakan pekerja akan mendorong pekerja untuk sukarela memberi stempel pada hasil kerjanya. Hal inilah yang tidak dikehendaki oleh manajer penganut aliran Ford/ modernis. Sayangnya, kebiasaan para modernis ini telah begitu merasuk, baik di sini maupun di belahan dunia lain. Namun apakah kemampuan alami seseorang benar-benar bisa dikontrol? Bukankah ini sebuah tragedi, di mana kejeniusan Taylor dalam menyelaraskan kemampuan seseorang dengan tugas tidak memperhitungkan bahwa manusia adalah manusia seutuhnya yang mampu melihat gambaran yang utuh? Manusia punya semangat yang bisa meruntuhkan penjelasan ilmiah. Kalau manusia sudah berketetapan hati, mereka mampu menghasilkan upaya, stamina, kreativitas, dan keberanian yang luar biasa. Namun, perlu diakui bahwa Taylor dan para manajer ilmiah lainnya telah sukses membangun budaya kerja yang bertahan lama dan diterima luas. Nilai-nilai para modernis diekspresikan sebagai sebuah keyakinan di dunia Barat. Gagasan bahwa uang adalah simbol pengakuan dan imbalan telah diterima luas. Seluruh teori dan praktik manajemen didasarkan pada landasan budaya bahwa kerja mesti diorganisir berdasarkan imbalan moneter sebagai balasan atas kepatuhan dan ketaatan. Dari sinilah lahirlah istilah ‘kompensasi’, yang mengisyaratkan bahwa kerja memang tidak harus dinikmati, sehingga karena itu perlu diberi kompensasi.

 

Minggu, November 23, 2008

Manajemen Ilmiah dari Frederick Taylor

Manajemen Ilmiah

            Misalnya Anda adalah seorang pekerja muda berusia 20-an yang ingin bekerja di satu tempat. Mungkin saja itu perusahaan jasa, pabrik atau perusahaan kecil—di mana pun itu. 

Berdasarkan perlakuan yang Anda terima di tempat kerja, Anda bisa menduga bahwa manajer anda menganut prinsip-prinsip dan metode manajemen ilmiah dari F.W. Taylor, yang pada gilirannya mewarnai pandangan sang manajer bahwa ‘Hampir semua pekerja yang kompeten cenderung berlambat-lambat dalam bekerja sambil tetap meyakinkan atasannya bahwa dia bekerja sesuai kecepatan yang ditentukan. Di bawah sistem kami, pekerja diberi tahu dulu tugas-tugas yang mesti dikerjakannya dan bagaimana melakukannya. Perubahan seremeh apapun yang dia lakukan terhadap perintah bisa berakibat fatal bagi kesuksesan karirnya’ (Taylor 1929). Secara singkat, empat prinsip-prinsip Taylor adalah sebagai berikut: hanya ada satu cara terbaik untuk mengorganisir pekerjaan (yaitu manajemen) berdasarkan metode rekayasa; pekerja secara ilmiah mesti dipasangkan dengan tugas-tugas spesifik; formula manajemen adalah ‘supervisi, imbalan, dan sanksi; dan tugas manajer adalah merencanakan, mengkoordinasi, dan mengendalikan.

            Menurut aliran Taylorisme, pekerjaan dibagi-bagi berdasarkan komponen yang sudah disederhanakan, terspesialisasi, dan baku. Para pekerja mesti beradaptasi terhadap mesin. Pengetahuan yang Anda peroleh sebagai pekerja hanya sebatas yang perlu saja, dan deskripsi kerja dirancang berdasarkan pengetahuan tersebut. Wewenang dan pengambilan keputusan merupakan hak atasan. Berpikir, mengendalikan, dan mengkoordinasikan dilakukan oleh para manajer.  Anda dibayar hanya untuk bekerja, dan hal ini dinyatakan dengan jelas. Anda adalah bagian manajemen modern, yang dicirikan oleh kontrol yang ketat, pengambilan keputusan top-down yang sentralistis, serta tugas-tugas yang telah terprogram dan terinci. Anda tidak perlu repot-repot berpikir, karena justru bisa membahayakan diri Anda sendiri. Berpikir adalah aktivitas yang berkaitan dengan pengambilan keputusan dan pengumpulan informasi, dan hal itu adalah hak prerogatif manajemen. Memang untuk itulah manajemen dibayar.

            Sebagai pekerja muda dalam era manajemen ilmiah, dunia Anda akan diatur orang lain. Anda akan dipas-paskan dengan pekerjaan Anda beserta alat-alat yang terkait dengannya, sehingga Anda sekarang tidak lebih hanyalah tangan dan kaki tambahan bagi mesin. Pelajaran paling berharga dari Taylor atau dari praktisi/ pakar manajemen berpengaruh lainnya (misalnya McGregor 1960, Peters dan Austin 1985, Kanter 1984, Senge 1992) adalah bahwa teori-teori dan praktik yang mereka ajarkan semuanya didasarkan pada pandangan pribadi mereka tentang hakikat manusia dan bagaimana manusia semestinya diperlakukan. Taylor berguna tidak saja untuk menjelaskan warisan manajemen kuno kepada kita, namun juga sebagai model kerja tentang bagaimana cara pandang manajer membentuk cetak-biru di benaknya saat mereka memanajemeni orang-orang lain. Pandangan personal ini memiliki efek berantai hingga praktik manajemen level terbawah. Jadi, bisa kita simpulkan bahwa manajemen sumber daya manusia berangkat dari cara pandang manajer terhadap manusia dalam setting pekerjaan. Pandangan ini mampu mewarnai filosofi dasar manajemen, yang pada gilirannya akan menentukan keputusan-keputusan tentang desain kerja. Dari sini, hampir semua aspek kerja akan turut terimbas pula. Bagan 1.2 menggambarkan bagaimana dua sudut pandang yang bertolak belakang melahirkan gaya supervisi manajemen yang amat berbeda. Dari tabel ini, Anda bisa mengetahui bagaimana Taylor memandang kehidupan kerja Anda.

 

Pandangan A

Manusia itu pandai dan mampu.

Manusia itu bertanggung jawab.

Manusia mampu mengelola diri sendiri.

Manusia mampu berpikir.

Pandangan B

Manusia itu tunduk dan patuh.

Manusia itu tidak bertanggung jawab.

Manusia perlu diawasi/ disupervisi.

Manusia mampu melaksanakan.

 

Gaya A

Gaya kepenyeliaan: pemberdayaan.

Informasi dibagi.

Atmosfernya terbuka/ saling percaya.

Gaya ini mengorganisir proses.

Hierarki lebih datar.

Penggunaan tim untuk mengelola.

Konsumen mengarahkan kinerja.

Hasil tim lebih dihargai.

Multikemampuan dihargai.

Maksimalisasi kontak pemasok/konsumen

Gaya ini mengajari orang untuk berpikir dan belajar.

Gaya B

Gaya kepenyeliaan: pengendalian.

Informasi disaring.

Atmosfer tertutup/ serba curiga.

Gaya ini mengorganisir tugas.

Hierarki piramid.

Manajer terbiasa mengelola.

Profitabilitas mengarahkan kinerja.

Kinerja individual lebih dihargai.

Kecakapan spesifik dihargai.

Kontak pemasok/ konsumen dibatasi.

Gaya ini mengajari orang untuk mengikuti solusi yang didiktekan.

 

Bagan 1.2  Dua pandangan bertolak belakang tentang manusia di lingkungan kerja sebagaimana diindikasikan oleh gaya kepenyeliaan/ supervisory styles (diadaptasi dari ide dalam Business Week, Des. 1993, hal. 46, memakai data McKinsey & Co).

 

            Menurut filosofi ala Taylor yang tercermin dalam Pandangan B, para supervisor menentukan kemampuan yang mesti Anda pakai. Anda tidak perlu ikut mengambil keputusan. Anda akan diawasi dan kerja Anda akan diukur waktunya secara ketat. Pergerakan Anda dimonitor untuk mengetahui presisi dan kepatuhan Anda. Anda melapor pada atasan langsung. Anda hanya bisa menduga-duga apa yang terjadi di level atas berdasarkan gosip-gosip yang beredar. Supervisor Anda beserta manajernya mengontrol informasi tentang penjadwalan, kinerja, siapa yang mengerjakan apa, dan fakta-fakta menarik lainnya. Dia memutuskan apa yang perlu Anda ketahui dan menyampaikan tuntutan kerja spesifik serta ancaman terselubung tentang masa depan karir Anda seandainya Anda tidak patuh. Anda belajar untuk tidak mempercayai siapa pun, terutama atasan Anda, kendati Anda tetap melihat-lihat situasi tentang siapa-siapa yang patut Anda percayai. Isyarat-isyarat tentang perasaan pekerja yang ditempel di papan pengumuman di kantin, misalnya puisi berjudul “Janji yang Lagi-lagi Meleset’, tidak sedikit pun mengusik pihak manajemen. Singkatnya, mereka memang tidak mau mendengar suara pekerja. Setiap hari Jum’at siang, Anda tidak tahu, Anda akan membawa pulang amplop gaji atau surat pemecatan karena alasan penciutan. Bila manajemen tidak punya keluhan tentang Anda dan masih membutuhkan produktivitas Anda, Anda akan membawa pulang gaji. Bila mereka tidak butuh Anda, Anda akan menerima surat pemecatan. Tidak begitu keliru kalau Anda merasa bahwa di mata seorang manajer ilmiah, Anda tidak lebih sebuah barang dagangan.

            Para manajer ilmiah dengan seenaknya menganggap Anda mau begitu saja mengabaikan pilihan-pilihan Anda sendiri perihal bagaimana, kapan, dan dengan siapa Anda ingin bekerja. Bagi mereka, Anda akan menggadaikan upaya Anda demi uang berdasarkan persamaan berikut ini.

Lebih banyak upaya = lebih banyak uang.    

Sedikit upaya = sedikit uang.

 

            Dengan demikian Anda akan diminta mengerahkan ketrampilan Anda (dan bukan jiwa Anda) pada pekerjaan. Tak lama kemudian akan timbul kolusi antara Anda dan manajemen (mungkin secara tak sengaja, mungkin tidak disadari) untuk menjadikan uang sebagai simbol keunggulan. Menurut prinsip-prinsip ini, bila bahan baku atau masa kelesuan menghambat kemampuan Anda untuk mencetak lebih banyak uang, maka status, gengsi, dan harga diri Anda akan ikut terkikis seiring dengan keringnya dompet Anda. Kemampuan Anda mencetak uang menjadi indikator segala hal yang kita namakan saja ‘keuntungan pribadi’. Seandainya suatu saat keselamatan diri Anda mesti bertolak belakang dengan keuntungan pribadi, mana yang akan Anda pilih dan mana yang akan Anda korbankan? Adakah filosofi lain yang cukup kuat untuk mengatasi dampak filosofi manajemen rasional/ ekonomis macam itu, mungkin begitu pikir Anda?