Selasa, September 30, 2008

Tren Asia 20-30 tahun ke depan


Asia Future Shock

by Michel Backman

The book tells the future significant trends and developments of Asia for the next 25 - 30 years. This is a good insights for strategists and business planners.


Key take away Asian trends from the book are :


1. India's population may exceed China's by 2030 when their respective population reaches 1.5 billion.

2. Nuclear powered energy sources will be on the rise for both China and India as current coal burning energy form creates environmental crisis for China especially.

3. Both countries will see a combined surplus of over 250 million males over females.

4. China will have the most number of English speaking people in the world.

5. Japan's economy will not improve due to its diminishing population whereby it will decline by as much as 25 million people compared to now.

6. Singapore will be the world's offshore clandestine financial safe haven while China will be the world's premier private banking centre.

7. Indian conglomerates are moving out of India through acquisitions to escape difficult business environment back home.

8. Vietnam will be the new Guandong of China (eventhough it does not have the size to be the new China) while Myanmar could be transformed to follow Vietnam.

9. World medical treatments and cutting edge medical researches will move to Asia to countries such as China, Singapore and Thailand as well as thriving medical tourism.

10. Korea will reunify as the North will not survive on its own while the South sees the need to unify for cheaper labour (South Korea's population is the fastest aging population in the world) and socio economic expansion.

11. Countries with stiffened democracies such as China, Vietnam and Singapore prosper more than truer democracy such as India and Indonesia.

12. These stiffened democracies use the internet as a tool to monitor and control its population. And as such, the governments will encourage the proliferation of internet penetration to its population.

13. Indonesia due to its unstable law and governance issues will not attract investments significantly.

14. Water crisis will loom for countries such as China and India and will affect crop production in China making it needing to import more.

15. The economies will be borderless with cross border migration a common thing.

16. Oil economies will be affected severely as oil dries up in Indonesia and Malaysia.

17. Chinese corporates will expand significantly overseas especially to third world countries such as Africa.

18. Influx of Chinese tourists overseas.

19. China is structurely well developed compared to India due to the former investing nearly 7 times more on infrastructure than the latter and such investments in infrastructure if planned correctly can be self financing.

20. Growing corporate ownership by charities set up by the current wealthy individual corporate owners.

Kamis, September 25, 2008

Pembelajaran Organisasi dan Inovasi

Kemampuan dalam memfasilitasi pembelajaran dan inovasi adalah pendorong utama bagi kompetensi perusahaan untuk mendongkrak pendapatan, profitabilitas, dan nilai ekonomi. Kemampuan untuk belajar dibutuhkan untuk meluncurkan produk baru yang unggul, meningkatkan efisiensi operasi, dan menciptakan nilai lebih bagi pelanggan. Penetrasi pasar baru dan kepemimpinan pasar yang berkelanjutan menuntut pembelajaran. Lebih dari 30 tahun terakhir, kelemahan perusahaan–perusahaan Amerika di bidang ini telah mengundang berbagai serangan atas pasar Amerika Serikat oleh kompetitor asing. Banyak dari serangan itu yang berhasil. Dua pertiga perusahaan yang masuk daftar Fortune 500 pada tahun 1960 kini tidak lagi eksis. Singkatnya, dominasi pasar dan ukuran organisasi tanpa kemampuan untuk belajar dan beradaptasi dengan cepat, tidaklah memadai bahkan untuk sekedar bertahan hidup.

Pembelajaran organisasi semakin diakui sebagai faktor kritis dalam kemampuan organisasi untuk menciptakan nilai ekonomis yang berkelanjutan. Meskipun demikian, proses ilmiah yang dibutuhkan untuk pengembangan kompetensi organisasi belum dipahami sepenuhnya.

Istilah pembelajaran organisasi sesungguhnya tidak terlalu tepat. Kenyataannya, bukan organisasi yang belajar,  melainkan  orang – orang dalam organisasi. Setiap kondisi dalam suatu organisasi dipengaruhi oleh penerapan pengetahuan yang dimiliki anggotanya. Untuk memahami bagaimana organisasi belajar, kita harus memahami bagaimana orang–orang belajar dan berbagi pengetahuan, proses untuk mendukung sikap dan perilaku yang dibutuhkan untuk belajar, dan isu–isu psikologis yang mendasari keengganan untuk belajar.  

        Sementara banyak organisasi bergulat dengan tantangan pembelajaran organisasi, mereka menjumpai dua hal yang menghimpit mereka. Orang – orang dalam organisasi telah dibentuk sedemikian rupa sehingga akhirnya malah menjadi antitesis dari apa yang sesungguhnya dibutuhkan untuk pembelajaran. Apalagi, organisasi tidak memiliki model yang baik untuk mengelola orang, selain model yang telah mereka alami dalam keluarga dan dalam sistem pendidikan. Populasi manajer yang ada sekarang ini tidak pernah dihadapkan pada, atau dilatih dalam, suatu model yang sehat untuk memaksimalkan kinerja suatu sistem bisnis dalam lingkungan yang berubah dengan cepat.

 

Selasa, September 23, 2008

Budaya Korporat, Struktur dan Strategi

Istilah “budaya” sebenarnya berakar dari ilmu antropologi sosial. Kultur atau budaya secara lebih formal dirumuskan sebagai keseluruhan interaksi sosial dari pola perilaku, kesenian, keyakinan, institusi, dan semua produk hasil kerja dan karakteristik pemikiran manusia dari suatu komunitas atau populasi.

          Budaya organisasi bisa kita bagi menjadi dua tingkatan yang berbeda dalam ‘tampilan’ maupun resistensi mereka terhadap perubahan. Pada tingkatan yang lebih dalam dan tak nampak, budaya merujuk pada nilai–nilai yang dianut bersama para anggota kelompok. Nilai–nilai tersebut cenderung bertahan lama, meski keanggotaan dalam kelompok itu berubah. Nilai-nilai yang menyangkut apa yang dianggap penting dalam hidup bisa jadi sangat bervariasi dalam berbagai organisasi. Di perusahaan tertentu, karyawannya mungkin lebih berorientasi pada uang; sementara di perusahaan lain, bisa jadi inovasi teknologi atau kesejahteraan pegawai lebih penting. Pada tingkatan ini, budaya sangat sulit berubah, sebagian karena anggota kelompok kerapkali tidak menyadari nilai–nilai yang mengikat mereka.

          Pada tingkatan yang lebih bisa diamati, budaya mencerminkan pola perilaku atau gaya organisasi yang mesti diadopsi oleh karyawan–karyawan baru. Katakanlah misalnya, pegawai dalam satu kelompok tertentu suka berpakaian formal. Pada tingkatan ini, budaya lebih mudah diubah, tidak sesulit mengubah nilai-nilai dasar tersebut di atas. Masing–masing tingkatan budaya memiliki kecenderungan alami untuk saling mempengaruhi. Hal ini paling nampak pada shared values yang mempengaruhi perilaku kelompok, misalnya komitmen pada pelanggan akan mempengaruhi seberapa cepat individu merespon komplein pelanggan.

Dengan konsep semacam itu, budaya dalam satu perusahaan tidak sama dengan strategi atau struktur perusahaan meski kedua istilah itu (dan istilah–istilah lain seperti “visi” atau “misi”) tak jarang saling menggantikan karena kesemuanya itu termasuk lingkungan kompetitif dan regulasi, merupakan bagian penting dalam pembentukan perilaku karyawan. Strategi adalah pemikiran logis mengenai bagaimana perusahaan mencapai suatu tujuan tertentu. Keyakinan dan praktik-praktik yang menjadi prasyarat dalam menerapkan suatu strategi bisa selaras dengan budaya korporat, bisa pula tidak. Bila tidak, perusahaan umumnya akan kesulitan menerapkan strategi tersebut. Namun meski strategi tersebut sukses diterapkan, pola perilaku yang mencerminkan strategi tersebut bukanlah budaya, kecuali bila sebagian besar anggota kelompok secara aktif mendorong para anggota baru untuk ikut menjalankan praktik-praktik tersebut.

          Struktur merujuk pada pengaturan organisasi secara formal. Pengaturan tersebut mungkin menuntut perilaku yang sudah merasuk dalam perusahaan karena alasan-alasan budaya. Pengaturan tersebut bisa juga menuntut tindakan yang bukan bagian dari budaya, meski sama sekali tidak bertentangan dengan budaya. Atau bisa juga pengaturan tersebut menuntut praktik-praktik yang berseberangan dengan budaya. Dalam situasi terakhir ini, kerapkali dibedakan  antara “organisasi formal” dengan “organisasi informal”.

          Sesungguhnya semua organisasi memiliki budaya ganda—yang umumnya menyangkut pengelompokan fungsional atau lokasi yang berbeda-beda. Bahkan dalam suatu subunit kecil sekalipun, bisa jadi terdapat subbudaya yang berbeda dan bahkan saling bertentangan. Organisasi besar dengan cabang yang tersebar dimana–mana barangkali memiliki ratusan budaya yang berbeda. Ketika kita bicara tentang “budaya korporat”, umumnya yang dimaksud adalah nilai dan praktik-praktik yang tersebar di seluruh kelompok dalam perusahaan, setidaknya pada manajemen puncak.

          Perusahaan memiliki budaya karena adanya kondisi-kondisi yang mendukung penciptaan budaya. Sebagaimana dinyatakan oleh Edgar Schein, prasyarat membentuk satu budaya hanyalah sekelompok pegawai yang berinteraksi selama periode yang cukup lama dan relatif sukses dalam pekerjaan mereka. Solusi yang muncul berulang kali dalam memecahkan masalah akan menjadi bagian budaya mereka. Semakin lama solusi itu mampu mengatasi masalah maka akan makin dalam solusi tersebut merasuk dalam budaya. Gagasan atau solusi yang kemudian merasuk pada satu budaya bisa timbul dari mana saja, dari individu atau kelompok, dari bawah maupun dari atas. Tapi pada perusahaan berbudaya korporat yang kuat, gagasan–gagasan ini kerapkali dikaitkan dengan pendiri atau pemimpin-pemimpin perintis lainnya yang mengartikulasikannya sebagai “visi”, “strategi bisnis”, “filosofi”.

Minggu, September 21, 2008

Mazhab Teori Manajemen Perubahan

Pada tahun 1940 hingga 1980-an, wacana tentang manajemen perubahan sangat diwarnai oleh pendekatan Perubahan Terencana, yang dasar-dasarnya telah dirintis oleh Kurt Lewin. Namun setelah kematiannya, pendekatan ini diambil alih dan menjadi fokus sentral gerakan Pengembangan Organisasi (Organization Development), khususnya di negara-negara Barat. Dalam bentuk awalnya, Pengembangan Organisasi adalah pendekatan perubahan yang memfokuskan perhatiannya pada peningkatan kinerja kelompok di mana pimpinan organisasi atau manajer, para karyawan atau pekerja bekerja sama dengan agen perubahan, biasanya seorang atau lembaga konsultan. Melalui proses pembelajaran, mereka mengupayakan wawasan baru terhadap situasi yang mereka hadapi dengan harapan mereka mampu mengidentifikasi dan memperoleh cara-cara kerja sama yang lebih efektif. Para pendukung gerakan ini, khususnya pada masa-masa awal, meyakini bahwa pembelajaran kelompok dan pengembangan individu setidaknya sama pentingnya dari proses perubahan itu sendiri. Hal ini memang konsekuensi dari nilai-nilai humanisme dan demokrasi yang mendasari Perubahan Terencana, yang kalau dilacak sumbernya berasal dari keyakinan dan latar belakang pendirinya, Kurt Lewin.

          Namun, dalam perkembangannya kemudian pengaruh nilai-nilai ini makin melonggar. Itulah yang membedakan pendekatan para perintis yang banyak bertumpu pada pendekatan analitis dengan pendekatan yang lebih bersifat preskriptif pada era-era berikutnya, khususnya dari para proponen gerakan Pengembangan Organisasi yang saat itu telah berkembang menjadi industri konsultansi tersendiri. Namun, semenjak tahun 1980-an, pendekatan Perubahan Terencana menuai banyak kritik terutama karena ketidakmampuannya dalam menangani situasi perubahan yang lebih radikal dan koersif atau di mana kekuasaan dan politik organisasi sangat dominan.

          Mungkin karena wacana yang berkembang setelah itu, sebuah pendekatan baru semakin memperoleh perhatian dan pengikut pada tahun-tahun belakangan ini. Meskipun aspek-aspeknya kerap mendapat label yang berbeda-beda, seperti continous improvement atau pembelajaran, pendekatan ini lebih kerap diklasifikasikan dalam Pendekatan Emergent. Pendekatan ini lebih mendukung perubahan yang digerakkan dari bawah ke atas ketimbang top-down serta lebih menekankan pada proses berkesinambungan yang open ended dalam beradaptasi terhadap kecepatan dan intensitas perubahan yang makin menjurus ke arah turbulensi. Lebih dari sekedar metode perubahan struktur dan praktek-praktek organisasi, pendekatan ini juga lebih memerikan proses perubahan sebagai proses pembelajaran.  

          Manajemen perubahan bukanlah suatu disiplin ilmu terpisah dengan batasan-batasan kaku yang terdefinisikan dengan jelas. Namun, teori dan praktek manajemen perubahan melibatkan banyak disiplin serta tradisi ilmu-ilmu sosial. Misalnya, teori pendidikan dan pembelajaran manajemen, yang membantu kita untuk memahami perilaku mereka yang mengelola perubahan, tidak dapat dilepaskan sepenuhnya tanpa kita mengacu ilmu psikologi. Permasalahan ini juga tak bisa dibicarakan tanpa menyentuh epistemologi.

          Maka, tantangannya adalah bagaimana menjangkau rentang yang cukup luas agar kita dapat mencakup dasar-dasar teoritis manajemen perubahan, tanpa tersesat terlalu jauh dalam disiplin-disiplin terkait sehingga menyebabkan hilangnya fokus serta pemahaman. Demi mencapai keseimbangan pelik ini, peninjauan ini akan dibatasi pada tiga mazhab pemikiran sebagai pembentuk fondasi di mana teori-teori manajemen perubahan bersandar, yaitu masing-masing mazhab Perspektif Individual, mazhab Dinamika Kelompok dan mazhab Sistem Terbuka.

Mazhab Perspektif Individual

Pendukung mazhab ini dibagi menjadi dua kelompok: para psikolog Behavioris dan Gestalt-Field. Para psikolog Behavioris memandang perilaku sebagai hasil interaksi seseorang dengan lingkungannya. Psikolog Gestalt-Field meyakini bahwa itu baru menjelaskan sebagian konsep secara utuh. Mereka menyatakan bahwa perilaku seseorang merupakan produk lingkungan dan penalaran.

          Bagi Behavioris, semua perilaku dipelajari (learned);  individu hanyalah penerima pasif data eksternal dan obyektif. Salah satu prinsip dasar Behavioris adalah bahwa tindakan manusia dikondisikan oleh konsekuensi yang diharapkan. Perilaku yang mendapat imbalan cenderung akan diulangi lagi, dan perilaku yang diacuhkan cenderung tidak diulangi. Alhasil, untuk mengubah perilaku, diperlukan perubahan pada kondisi-kondisi yang menyebabkannya.

          Dalam prakteknya, modifikasi perilaku mencakup manipulasi memperkuat stimuli sebagai imbalan dari aktifitas  yang diharapkan. Tujuannya adalah untuk segera memberi imbalan pada setiap contoh perilaku yang diharapkan, namun untuk mengacuhkan semua perilaku yang tidak diinginkan (karena bahkan pengakuan negatif sekalipun dapat bersifat menguatkan). Suatu perilaku tertentu akhirnya akan berhenti jika tidak mendapat imbalan (reward positif maupun negatif). Pendekatan Behavioris merefleksikan pendekatan Mazhab Klasik, di mana manusia digambarkan sebagai sekedar gir penggerak pada mesin yang terbatas hanya merespon stimuli eksternal saja.

          Bagi teoritikus Gestalt-Field, pembelajaran merupakan suatu proses perolehan atau perubahan wawasan, pandangan, ekspekatasi atau pola pemikiran. Untuk menjelaskan perilaku seseorang, kelompok ini tidak hanya mempertimbangkan tindakan seseorang dan respon yang dimunculkan, namun juga interpretasi yang dibuat seseorang.

Maka, dari sudut pandang Gestalt-Field, perilaku tidak sekedar produk dari stimuli eksternal, namun lebih bisa dijelaskan dari cara individu memakai penalarannya untuk menginterpretasikan stimuli. Dalam rangka itulah, para pendukung Gestalt-Field berupaya membantu para anggota organisasi dengan cara mengubah pemahaman atas diri mereka sendiri dan situasi terkait, yang mereka yakini akan mendorong perubahan perilaku (Smith dkk., 1982). Namun di sisi lain, para pendukung Behavioris berupaya mewujudkan perubahan organisasi dengan cara mengubah stimuli eksternal yang mampu mempengaruhi individu.

          Kedua kelompok dalam mazhab Perspektif Individual telah terbukti sangat berpengaruh dalam literatur manajemen perubahan; bahkan sejumlah penulis menyarankan penggunaan kedua teori ini bersama-sama. Misalnya, mazhab Cultural-Excellence yang menyarankan penggunaan kedua insentif individual ini (stimuli eksternal) dan diskusi, keterlibatan dan debat (refleksi internal) dalam rangka mendorong perubahan organisasi.

Mazhab Dinamika Kelompok

Sebagai salah satu unsur teori perubahan, mazhab ini memiliki sejarah sangat panjang. Mazhab ini menekankan pada pencapaian perubahan organisasi melalui tim atau kelompok kerja, ketimbang pada individu. Pemikiran dasarnya sebagaimana disuarakan Kurt Lewin, adalah bahwa orang-orang dalam organisasi bekerja dalam kelompok, maka perilaku individual harus dipandang, bisa dimodifikasi atau diubah dalam rangka praktek-praktek dan norma kelompok yang berlaku.

          Lewin (1947) menyatakan bahwa perilaku kelompok merupakan seperangkat rumit interaksi simbolik dan daya-daya kekuatan yang tidak hanya mempengaruhi struktur kelompok, namun juga mampu mengubah perilaku individu. Karenanya, perilaku individu merupakan fungsi dari lingkungan kelompok atau medan (field), di mana tercipta kekuatan dan ketegangan yang bersumber dari tekanan kelompok pada setiap anggotanya. Menurut Lewin, perilaku seseorang pada saat tertentu dipengaruhi oleh intensitas dan valensi (baik kekuatan positif ataupun negatif) dari pelbagai daya kekuatan yang berdampak pada individu tersebut. Lantaran itu menurut mazhab Dinamika Kelompok, untuk mendorong perubahan, tidak ada gunanya kita berkonsentrasi pada pengubahan perilaku individu. Individu secara sendiri-sendiri mendapat tekanan dari kelompok yang menyebabkannya harus beradaptasi. Maka, fokus perubahan mesti dipusatkan pada tataran kelompok dan selayaknya berkonsentrasi untuk mempengaruhi dan mengubah norma, peran, dan nilai kelompok (French dan Bell, 1984).

          Meskipun fokusnya terbatas, mazhab Dinamika Kelompok terbukti cukup berpengaruh dalam mengembangkan teori dan praktek manajemen perubahan. Hal ini tercermin pada kelaziman bagi organisasi untuk melihat organisasi mereka sebagai satuan yang terdiri dari kelompok dan tim, dan bukan sekedar kumpulan individu-individu (Mullins, 1989). Dalam proses itu, norma, peran, dan nilai-nilai diuji, ditantang, dan jika perlu, diubah.

          Namun demikian, meski banyak penulis fokus pada kelompok dalam organisasi, sejumlah pakar lainnya lebih menekankan pendekatan yang berkaitan dengan organisasi secara keseluruhan sebagai pendekatan yang lebih tepat.

 

Mazhab Sistem Terbuka

 

Setelah membahas pelbagai pendekatan terhadap perubahan yang menekankan pentingnya kelompok dan individu, kita sekarang sampai pada satu pendekatan yang acuan utamanya adalah organisasi secara keseluruhan. Menurut mazhab Sistem Terbuka, organisasi terdiri dari pelbagai sub sistem yang saling berkaitan, di mana perubahan pada salah satu bagian sistemnya akan berdampak pada bagian-bagian lain dalam sistem, lalu akhirnya pada kinerja keseluruhan (Scott, 1987). Pendekatan terhadap perubahan mazhab Sistem Terbuka didasarkan pada metoda deskripsi dan evaluasi pelbagai sub-sistem ini, agar kemudian dapat ditentukan bagaimana cara mengubahnya sehingga mampu memperbaiki cara keseluruhan organisasi berfungsi. Mazhab Sistem Terbuka lebih mementingkan pemahaman organisasi secara keseluruhan; karenanya, sistem ini berupaya menerapkan perspektif holistik ketimbang partikularistik.

          Namun, perspektif Sistem Terbuka ini bukannya tidak dikritisi dalam  hal kelemahan-kelemahannya. Walau banyak dikritik, namun banyak pula dukungan terhadap pendekatan ini. Itulah mengapa, pendekatan ini kini semakin  berpengaruh.

          Meskipun masing-masing mazhab menyatakan dirinya sebagai yang paling efektif atau bahkan sebagai satu-satunya pendekatan perubahan yang paling tepat, namun tidak perlu terjadi konflik ataupun kompetisi di antara mereka. Bahkan dapat dikatakan bahwa ketiganya saling melengkapi. Kuncinya adalah dengan cara mengidentifikasi situasi yang paling sesuai bagi salah satu pendekatan: apakah permasalahan ataupun tujuan perubahan berada pada tataran organisasi, kelompok, atau individual?  Dapatkan tataran satu dipisahkan dari tataran lainnya?

 

 

 

Manajemen Perubahan dalam garis besarnya

Secara sederhana, kita bisa membagi masalah manajemen perubahan menjadi dua pertanyaan utama, yaitu: ‘Perubahan apa yang mesti kita terapkan?’ dan ‘Bagaimana cara kita menerapkannya agar bisa sukses?’ Untuk menjawabnya, kita butuh dua ketrampilan khusus: untuk mendiagnosa kebutuhan perubahan; mengaudit kinerja; mengembangkan visi perbaikan; menggambarkan atau merumuskan strategi baru. Mencapai tujuan perubahan juga butuh ketrampilan untuk menyelesaikan tugas secara tuntas, untuk mendorong aksi.

Perubahan kerap mengganggu dan merusak. Memang mnurut definisinya, perubahan mengusik keadaan ‘status quo’. Kepemimpinan sangatlah penting karena untuk mencapai tujuan perubahan, kita mesti menempatkan analisa dan aksi di atas konsensus, meski ketiganya sama-sama diperlukan. Kita akan membicarakan perpaduan manajerial yang baru ini agar proses perubahan bisa jalan secara efektif. Untuk itu, perlu dikembangkan dua tema utama, yaitu:

1.  Ketrampilan manajerial apa yang dibutuhkan untuk mendorong perubahan organisasi secara efektif?

2. Perubahan berpotensi mengganggu dan merusak. Bagaimana orang mengalami perubahan dan bagaimana cara membantu mereka mengatasi tekanan dari perubahan?

Agar bisa efektif mengelola perubahan, diperlukan kemampuan untuk menciptakan keterpaduan antara anggota organisasi, sumber daya, gagasan, peluang, dan tuntutan-tuntutan. Manajer butuh ketrampilan seorang konduktor orkestra. Visi penting, dan kreatifitas bahkan lebih penting. Namun, kemampuan menyusun rencana sistematis untuk penyediaan logistik sumber daya, dukungan, pelatihan, dan s.d.m. merupakan inti semua program perubahan. Karyawan mesti dibujuk dan dipengaruhi, lintas batas antar bagian diseberangi atau bahkan ‘dihapus’, gagasan-gagasan baru mesti diterima, cara kerja baru mesti diadopsi, dan standar baru kinerja dan kualitas mesti dicapai. Politik organisasi juga masalah krusial. Dukungan mesti dimobilisasi, koalisi dibangun serta didukung, oposisi harus diidentifikasikan dan dirangkul. Karyawan perlu dukungan agar mampu mengatasi stres, kecemasan dan ketidakpastian selama proses perubahan. Sebagian tradisi dan aturan dijungkirbalikkan untuk memberi tempat bagi yang baru. Namun demikian, kontinyuitas dan tradisi memberi stabilitas, support, dan makna bagi pekerja dan tidak perlu dihancurkan begitu saja tanpa pertimbangan. Manajemen perubahan efektif membutuhkan perhatian pada semua tantangan dan issu yang sepertinya saling bertentangan ini. Maka dalam masa perubahan, sintesis merupakan kunci. 

Rabu, September 17, 2008

Siapakah Change Champion atau Change Agent?


Anda mungkin pernah membaca tentang konsep pengadopsian inovasi, bahwa orang berbeda-beda dalam kecepatan mengadopsi ide-ide baru. Mereka adalah para inovator, early adopter hingga laggard. Konsep ini bisa kita manfaatkan untuk mengenali siapa-siapa yang hendak kita tunjuk dan manfaatkan sebagai change agent atau malah change champion.

Dapatkah kita, misalnya, menentukan orang yang paling berpeluang menjadi inovator? Menurut banyak pakar, mereka adalah orang-orang yang suka melakukan hal-hal baru dan siap menerima resikonya. De Vries menambahkan bahwa mereka siap mengambil calculated risk. Kirton, perintis uji adopsi-inovasi Kirton atau KAI, mengidentifikasi berbagai perbedaan antara inovator dengan adopter dan menyiratkan bahwa keduanya sama-sama penting untuk kesuksesan.

Konsep Amabile tentang unsur-unsur kreatifitas individu (contohnya pengetahuan dan ketrampilan produk dan teknis, gaya kognitif, gaya kerja, sikap dan motivasi) yang timbul dari kemampuan kognitif, ketrampilan perseptual dan motorik, pendidikan, pelatihan, pengalaman mengembangkan ide baru, kemampuan meminimalisir kendala eksternal, memungkinkan kita untuk mengidentifikasi ‘change champion’ dan ‘agen perubahan’.

Change champion cenderung bersifat berani mengambil resiko, berorientasi kuat pada prestasi, dengan kemampuan untuk mengabaikan atau setidaknya mampu menangani kendala hingga terbentuk gagasan melalui proses percobaan awal. Menurut Amabile, gaya kognitif-perseptual yang sesuai mencakup faktor-faktor di bawah ini:
• Kemampuan menghancurkan mind-set lama.
• Kemampuan mempertahankan opsi-opsi untuk waktu yang lama.
• Kemampuan menangguhkan judgement orang.

Selasa, September 16, 2008

Fungsi SDM dan Kapasitas Menggerakkan Perubahan

Dari pelaksanaan tugasnya, sebenarnya fungsi SDM bisa menata serangkaian proses yang didesain untuk meningkatkan daya saing perusahaan. Namun alih-alih sebagai pendukung inovasi, fleksibilitas dan perubahan, fungsi SDM justru lebih sering dianggap tertinggal. Dari sononya fungsi ini dipersepsi sebagai pelaksana tradisi yang melekat pada kebijakan-kebijakan dan prosedur dan tidak dianggap sebagai pelopor.  

Nah, guna mendongkrak kelincahan, kecanggihan dan daya tanggap fungsi SDM, para profesional SDM sudah semestinya lebih berani mengambil risiko, bereksperimen dengan program-program baru, mencari gagasan dan pendekatan baru serta mengubah gagasan dengan cepat menjadi aksi. Dengan menggunakan survei diagnosa sederhana di bawah ini, departemen SDM akan mampu menilai kecepatannya dalam merespon perubahan pasar, sektor industri dan strategi perusahaan.

  • · Pertanyaan 1: Seberapa cepat perubahan di sektor industri Anda? Biasanya, dengan menggunakan skala 1 hingga 10, skor untuk item ini  cukup tinggi. Kebanyakan profesional SDM telah menyadari bahwa konsumen, teknologi, regulasi, globalisasi dan faktor-faktor lingkungan eksternal lainnya berubah dengan cepat.
  • · Pertanyaan 2: Seberapa cepat perubahan dalam strategi bisnis Anda?  Sekali lagi, dalam skala 1 hingga 10, item ini semestinya mendapat skor tinggi. Perusahaan menyusun strategi bisnis baru hampir sama cepatnya dengan perubahan lingkungan eksternal.
  • · Pertanyaan 3: Seberapa cepat perubahan dalam praktik SDM di perusahaan Anda untuk mewujudkan strategi tersebut?  Skor jawaban pertanyaan ini biasanya merosot drastis. Perubahan praktik-praktik SDM kerapkali berlangsung lebih lambat dari perubahan lingkungan dan strategi yang menjadi dasar lahirnya praktik tersebut. Ketika terjadi perubahan lingkungan dan strategi, SDM lambat meresponnya.

           Perbaikan kecepatan gerak, agilitas dan daya tanggap fungsi SDM membutuhkan pengambilan risiko dan pemahaman mengenai proses-proses yang diperlukan guna mewujudkan perubahan dengan cepat.

 

Sabtu, September 13, 2008

Visi dan Perubahan Strategis

Banyak perubahan terjadi di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Banyak perusahaan publik diprivatisasi; mekanisme pasar diintrodusir di sektor-sektor yang dulunya monopolistik; konglomerasi atau perusahaan besar kini dipecah-pecah; dan banyak perusahaan mengalami perampingan. Upaya desentralisasi menciptakan struktur perusahaan yang lebih fokus pada ‘unit bisnis strategis’. Isu-isu kerap dilontarkan para pakar mewacanakan implikasi perusahaan jejaring, organisasi federal dan pemberdayaan.
Jelaslah bahwa semua ini telah menempatkan tuntutan-tuntutan baru yang makin berat terhadap kompetensi manajer. Namun perubahan-perubahan ini juga telah mengubah sifat dari apa disebut sebagai ‘kontrak psikologi antara perusahaan dengan karyawan’. Loyalitas pada perusahaan merosot, sehingga ungkapan ‘jobs for life’ tidak lagi berlaku. Struktur baru, yang dikenal sebagai flattened structure, bagi sebagian orang berarti pemberdayaan namun juga bisa berimplikasi ‘pengurangan pegawai’ bagi banyak orang lain.
Pengembangan, implementasi dan manajemen perubahan stratejik menjadi tantangan penting manajemen modern. Banyak penulis berpendapat hal ini mesti diawali dengan perumusan visi stratejik. Kita mesti merumuskan bagaimana jadinya perusahaan dalam 10 sampai 20 tahun lagi. Manajemen mesti mampu memadukan analisa dan insting, knowing, doing, thinking dan sensing. Jadi memvisualisasikan perubahan stratejik tidak sekedar masalah analisa, namun dalam hal ini dibutuhkan kemampuan untuk berimajinasi, mengkonseptualisasikan masa depan, dan tidak ketinggalan, kemauan untuk bereksperimen dan belajar, untuk meraba apa yang mungkin terjadi di masa yang akan datang, untuk menimbang-nimbang bagaimana organisasi akan merespon, dan masih banyak lagi.
Untuk lebih memahami tren sosial, politik, ekonomi dan teknologi dibutuhkan banyak masukan dalam tahap perumusan strategi. Masukan tidak semestinya dibatasi dari internal organisasi saja, namun bisa juga dari luar perusahaan. Selain itu, jika kita ingin menyatukan semua orang secara efektif, maka mesti diterapkan gaya manajemen yang mendorong proses pembelajaran, pengembangan, perumusan dan pengkomunikasian visi. Hal ini menuntut kita memahami proses inovasi, adaptasi dan perubahan — apa-apa yang bisa menghambat perubahan pada level individu, kelompok, unit dan korporat dan apa yang mesti dilakukan untuk menanggulangi apa yang dinamakan para pakar sebagai blockage.
Diagnosa stratejik digerakkan oleh dan/atau dibentuk oleh ide-ide tentang masa depan perusahaan yang dirumuskan dalam ‘visi’. Ada banyak teknik-teknik perumusan visi/ strategi yang diawali dari survei karyawan, survei pelanggan, dan competitive benchmarking, dan lain-lain. Dalam hal ini kita tidak sekedar mengumpulkan bukti simtomatik saja namun juga berupaya memahami apa yang telah terjadi. Kemerosotan angka penjualan dan meningkatnya biaya, misalnya, bisa jadi masalah yang menuntut bentuk perubahan tertentu, namun mustahil bagi kita untuk mengatakan apa tanpa memahami mengapa. Karena kita sering menganggap sesuatu sudah cukup jelas, maka jarang kita benar-benar berusaha memahami apa yang telah terjadi sebagai bagian dari diagnosis awal tentang apa dan bagaimana melakukan perubahan organisasi.

Manajemen Pengetahuan & Ekonomi Baru

Menjelang milenium baru, kini berkembang ilmu pengetahuan baru --  manajemen pengetahuan (knowledge management). Bagi banyak perusahaan, ilmu baru ini datang bagai anak nakal yang sulit dipahami. Bagi perusahaan-perusahaan yang masih berpegang pada asumsi-asumsi lama, implikasi manajemen pengetahuan sungguh sangat membingungkan. Karyawan dapat dikelola, oke semua sepakat. Tapi bagaimana perangkat-perangkat itu diterapkan pada pengetahuan itu sendiri?

Aset utama dari banyak, bahkan barangkali sebagian besar perusahaan-perusahaan  raksasa dunia, kini terutama berbentuk modal intelektual yang tak berwujud (intangible). Kalau kita mencoba mengukur nilai pasar Microsoft, misalnya, maka aset utamanya justru bukan terletak pada bangunan, peralatan, atau piutang, tapi lebih pada kecakapan orang-orangnya, kemampuan dalam pengembangan perangkat lunak, paten, copyrights dan merek dagangnya.

Knowledge is the new battlefield for countries, corporations and individuals. We all increasingly face conditions that demand more knowledge for us to function and, in the long run, for us to survive, demikian pernyataan Jonas Ridderstrale dan Kjell Nordstrom, pengarang buku Funky Business.

Banyak pakar manajemen mengamini pendapat mereka.  Salah satunya adalah Nonaka yang menulis buku The Knowledge Advantage. Dia menulis: Dalam perekonomian di mana satu-satunya kepastian adalah ketidakpastian, satu sumber utama keunggulan bersaing yang kekal adalah pengetahuan. Saat pasar mampu menggerakkan teknologi, persaingan berlipat ganda, dan produk menjadi usang hanya dalam waktu singkat; perusahaan yang mampu bertahan hanyalah mereka yang secara konsisten menciptakan pengetahuan baru, menyebarkannya ke seluruh organisasi, dan segera mewujudkannya dalam teknologi dan produk baru.

Ekonomi jenis baru yang dibangun berdasar pengetahuan dan inovasi sedang tumbuh. Ekonomi baru? Ya, tapi bukan jenis B2B, B2C atau C2C, tapi ekonomi yang secara fundamental berbeda dari aset dan proses ekonomi yang selama ini kita kenal. Dalam ekonomi jenis baru itu, pengetahuan bukanlah sekedar aset lain di samping orang, properti dan modal yang mesti dikelola. Pengetahuan akan menjadi aset utama yang harus dikelola, sementara  aset-aset lainnya menjadi sarana manajemen pengetahuan.

 

Kamis, September 11, 2008

Manajemen Perubahan bagi Profesional SDM

Walaupun punya banyak nama (antara lain transformasi, rekayasa ulang, perubahan budaya, reinvensi, adaptasi, fleksibilitas, pembelajaran cepat dan agilitas), tantangan kompetitif tetap sama: para manajer, karyawan dan perusahaan harus belajar berubah lebih cepat dan dengan lebih ‘nyaman’. Profesional SDM mesti mendorong organisasi mereka agar mau berubah. Mereka perlu mendefinisikan model perubahan organisasi, lalu menyebarkan model tersebut ke seluruh lingkup perusahaan dan mendorong penerapannya. Terdesak oleh waktu siklus yang makin pendek dan kecepatan perubahan yang meningkat, profesional SDM akan menghadapi banyak pertanyaan seperti:
  • Bagaimana kita melepaskan hal-hal yang telah kita pelajari di masa lalu?
  • Bagaimana sembari tak lupa masa lalu, kita beradaptasi ke masa depan?
  • Bagaimana mendorong pengambilan resiko yang diperlukan bagi perubahan tanpa membahayakan organisasi?
  • Bagaimana menentukan praktik SDM mana yang mesti dirombak demi transformasi dan mana yang perlu dipertahankan?
  • Bagaimana menggerakkan hati dan pikiran semua anggota organisasi untuk berubah?
  • Bagaimana kita bisa berubah dan belajar dengan cepat?

Selasa, September 09, 2008

Diagnosa Situasi Perubahan

Menurut Strebel para pemimpin perubahan tak bisa begitu saja mengambil resiko dengan membabi-buta menerapkan sebuah resep perubahan baku dan lalu mengharapkan suksesnya perubahan. Perubahan yang sukses mensyaratkan jalur yang tepat dengan situasi khusus yang melingkupi organisasi. Sementara menurut Pettigrew dan Whipp dalam laporan penelitian perusahaan-perusahaan Inggris yang bergerak di empat sektor industri: Salah satu ciri utama perusahaan yang diteliti adalah bahwa agar sukses berkompetisi, manajemen perubahan operasional dan stratejik mesti mengantisipasi sifat dari prosesnya yang tidak pasti dan emergent.

            Alhasil, jika perusahaan hendak merespon dan mengelola perubahan dengan sukses, maka diperlukan kemampuan mendiagnosa situasi perubahan. Namun, mendiagnosa situasi oganisasi bukanlah ilmu pasti. Meski demikian, ada beberapa metode dan teknik yang bisa membantu pendiagnosaan ini. Contohnya, model Greiner tentang daur hidup perusahaan merupakan teknik praktis untuk mengenali saat yang tepat kapan diperlukan perubahan organisasi. Selain itu, ada sejumlah teknik perencanaan strategis (contohnya, analisa stakeholder, SWOT dan PETS), dimana penerapannya dapat mengarah pada rencana perubahan. Khususnya, analisa kekuatan dan kelemahan perusahaan serta peluang dan ancaman (SWOT) atas perubahan lingkungan menyadarkan kita tentang perlunya dilakukan incremental change berkelanjutan dan sekaligus menghindarkan diri dari proses strategic drift.       

      Namun demikian, masih ada sejumlah metode lain yang bisa digunakan untuk mengantisipasi ketika perubahan sudah dekat dan untuk memutuskan pendekatan yang sesuai bagi manajemen dan implementasinya. Diantaranya, Strebel mengajukan suatu model perilaku industri. Model ini mirip dengan model Greiner tentang konsep daur perilaku. Namun demikian, jika Greiner mengaitkan modelnya terutama pada perubahan struktur dan manajemen perusahaan, Strebel lebih mengaitkan modelnya pada lingkungan kompetitif perusahaan. Konsepnya tentang ‘daur perilaku kompetitif evolusioner’ memperkenalkan ide ‘breakpoint’, yaitu periode di mana perusahaan mesti merubah strategi mereka untuk merespon perubahan perilaku pesaing.

Sabtu, September 06, 2008

Resistensi Individual terhadap Perubahan

Kurang cakap mengelola perubahan memunculkan resistensi dari para manajer atau karyawan terhadap perubahan. Resistensi terhadap perubahan, menurut Kreitner dan Kinicki, adalah reaksi yang bersifat emosional serta keperilakuan sebagai respon atas rasa terancam, baik ancaman itu bersifat nyata maupun imajiner, saat terjadi perubahan pada pekerjaan atau rutinitas. Resistensi pada perubahan bisa mewujud dalam berbagai macam bentuk reaksi. Judson menggolongkan bentuk-bentuk resistensi terhadap perubahan ke dalam empat spektrum dalam satu kontinum, yaitu: resistensi aktif (sabotase, memperlambat kerja), resistensi pasif (bekerja sesedikit mungkin, tidak ingin mempelajari tugas baru), reaksi yang lebih sulit diidentifikasi (bekerja hanya berdasarkan instruksi, kehilangan minat terhadap pekerjaan), dan penerimaan (mau bekerja sama atau bahkan antusiasme).

Faktor-faktor yang menyebabkan resistensi pada perubahan, menurut Robbins dan Kreitner & Kinicki antara lain:  a. Kebiasaan. Pada dasarnya, manusia adalah mahluk yang hidup dari kebiasaan yang dibangunnya karena dengan demikian manusia lebih mudah menjalani hidup yang dirasa sudah cukup kompleks. Begitu dihadapkan pada perubahan, maka manusia cenderung enggan merubah kebiasaannya.  b. Ketakutan terhadap munculnya dampak yang tak diinginkan. Perubahan menimbulkan ketidak-pastian, karena perubahan membuat seseorang bergerak dari suatu situasi yang sudah diakrabi menuju pada situasi yang asing dan tidak dia pahami. Akibatnya orang merasa cemas bahwa ujung-ujungnya perubahan akan merugikan dirinya.  c. Faktor-faktor ekonomi. Turunnya penghasilan, kenaikan gaji tidak sesuai harapan, naiknya biaya transport adalah faktor-faktor ekonomi yang memicu resistensi. Bila dampak ekonominya dirasa cukup nyata, maka resistensi karyawan terkait pada perubahan akan makin menguat.  d. Rendahnya kepercayaan dalam situasi kerja. Pimpinan atau manajer yang membangun relasi kerja dengan bawahan atas dasar ketidakpercayaan lebih besar kemungkinannya menghadapi resistensi dari bawahannya bila tiba saatnya dia menggulirkan perubahan. Sementara pimpinan yang mempercayai bawahannya akan mengupayakan perubahan secara terbuka, jujur dan partisipatif. Di sisi lain, bawahan yang dipercaya oleh atasannya menunjukkan upaya yang lebih baik dan memandang perubahan sebagai sebuah peluang. Singkatnya, kepercayaan/ketidak-percayaan dalam relasi kerja bersifat timbal balik.  e. Takut mengalami kegagalan. Proses perubahan yang bersifat menekan memunculkan keraguan pada karyawan akan kemampuannya untuk melakukan pekerjaan dengan baik. Keraguan ini lambat laun akan mengikis kepercayaan dirinya dan melumpuhkan pertumbuhan dan perkembangan dirinya.  f. Hilangnya status atau keamanan kerja. Penggunaan teknologi atau sistim administrasi baru dalam pekerjaan akan mempercepat proses kerja. Namun tidak jarang bisa mengakibatkan berkurangnya pekerjaan. Dampak inilah yang dikhawatirkan. Buat sebagian besar orang, hilangnya pekerjaan berarti hilangnya status dan juga hilangnya penghasilan. Tak heran selalu ada saja mereka yang resisten pada perubahan.  g. Tidak ada manfaat yang diperoleh dari perubahan. Seseorang menunjukkan resistensi pada perubahan bila dirinya tidak memperoleh manfaat sedikitpun bila melakukan perubahan.

Mengundang pakar perubahan untuk mendiskusikan mengenai pengelolaan perubahan yang tepat bisa menjadi salah satu alternatif. Alternatif lainnya adalah dengan mengadakan studi banding ke perusahaan-perusahaan yang sukses mewujudkan perubahan. Para pimpinan, baik di tingkat direksi, divisi atau departemen dan para pelaksana perubahan lainnya mesti bekerja sama dalam sebuah tim yang solid untuk menggerakkan perubahan. Kesatuan visi akan mendongkrak dukungan terhadap upaya perubahan yang digulirkan dan juga meredam resistensi.

 




Pergolakan Lingkungan Bisnis

Dinamika lingkungan setiap perusahaan juga bisa dikaitkan dengan tingkat pergolakan lingkungan. Menurut Ansoff dan McDonnell,  kinerja menjadi optimal ketika agresifitas serta daya tanggap organisasi sesuai dengan lingkungannya. Mereka menyebutkan lima tingkat pergolakan lingkungan:

·        Tingkat 1 : Bisa diprediksi (predictable). Adanya stabilitas pasar namun timbul tantangan secara berulang-ulang; perubahan terjadi lebih lambat ketimbang kemampuan perusahaan dalam merespon; masa depan kemungkinan tetap sama seperti masa lalu.

·        Tingkat 2 : Bisa diprediksi melalui ekstrapolasi (Forecastable by extrapolation). Kompleksitas meningkat, namun manajer masih bisa melakukan ekstrapolasi dari catatan di masa lampau dan masih percaya diri dalam meramal masa depan.

·        Tingkat 3 : Ancaman dan peluang masih bisa diprediksi (predictable threats and opportunities). Kompleksitas lebih meningkat lagi sementara daya respon perusahaan menjadi lebih problematik; namun masa depan tetap masih bisa diprediksi.

·        Tingkat 4 : Peluang tidak sepenuhnya bisa diprediksi (partially predictable opportunities). Pergolakan makin runyam dengan tambahan dimensi pergolakan global dan sosio-politik. Hanya sebagian masa depan mampu diprediksi.

·        Tingkat 5 : Kejutan-kejutan tidak terprediksi (predictable surprises) Pergolakan makin dahsyat, kejadian dan situasi tak terduga bermunculan lebih cepat ketimbang daya respon perusahaan.

Tingkatan perubahan ini bisa diperbandingkan dengan tiga jenis situasi perubahan menurut Stacey, yaitu: closed change, contained change dan open-ended change. Baik tingkatan pergolakan lingkungan menurut Ansoff dan McDonnell serta perubahan jenis closed, contained dan open-ended change dari Stacey bisa dikaitkan dengan konsep Stacey  mengenai ‘mendekati kepastian (close to certainty)’ dan ‘jauh dari kepastian (far from certainty)’. Jadi, mendekati kepastian menggambarkan sebuah situasi di mana perusahaan menghadapi perubahan jenis closed change dan contained change,  atau dalam istilah Ansoff dan Mc Donnell, ketika pergolakan lingkungan bisa disejajarkan dengan tingkatan 1 sampai 3. Ketika pergolakan lingkungan makin menggila intensitasnya dari tingkat 4 ke tingkat 5 atau, dalam istilah Stacey, ke sebuah situasi open-ended change, perusahaan terbilang jauh dari kepastian.

Situasi yang berubah-ubah ini punya implikasi penting terhadap tindakan manajer ketika mereka mencoba menimbang-nimbang strategi yang sesuai. Manajemen mesti bertindak sebaik-baiknya dengan mengidentifikasikan apakah daya pendorong perubahan itu tergolong kuat, sedang, atau lemah. Menurut Strebel daya pendorong perubahan kuat menyangkut faktor-faktor yang secara nyata mendorong kemerosoton atau perbaikan kinerja perusahaan. Lalu daya perubahan sedang sebagai faktor yang relatif sedikit pengaruhnya pada kinerja perusahaan, sementara daya perubahan lemah, sifat dan arahnya sulit untuk dibedakan.

Kekuatan daya perubahan bisa kita kaitkan dengan tingkat pergolakan lingkungan: makin besar kekuatan dayanya, makin besar kemungkinannya pergolakan lingkungan tersebut mendekati tingkat 5 dari Ansoff dan McDonnell. Tersirat di sini bahwa makin besar kekuatan serta tingkat pergolakan lingkungan, maka makin muskil tugas manajemen merencanakan dan mengelola perubahan.

Senin, September 01, 2008

Strategi Mengatasi Resistensi terhadap Perubahan

Untuk memastikan bahwa proses perubahan dapat berlangsung sesuai dengan rencana, maka resistensi yang muncul harus dapat diatasi. Mengatasi atau mengurangi resistensi pada perubahan bergantung pada sumber-sumber resistensi. Hal ini juga bergantung pada kemampuan pemimpin untuk lebih berorientasi tugas bila keadaan menuntutnya demikian, dan menggantinya dengan orientasi relasi untuk mengatasi resistensi perubahan yang bersifat lebih personal. Para pemimpin mesti paham bahwa sebagian besar perubahan mesti melewati proses traumatis berupa kekagetan dan penyangkalan orang-orang yang terkait sebelum akhirnya mereka mulai menyadari dan menyesuaikan diri. Berikut ini adalah langkah-langkah yang disarankan oleh Kreitner & Kinicki untuk mengatasi terjadinya resistensi terhadap perubahan yang mungkin dapat diaplikasikan dalam perusahaan anda:

6 Strategi Untuk Mengatasi Resistensi Terhadap Perubahan:

1. Pendidikan & Komunikasi
-Informasi dan analisa akurat tentang perubahan, kurang atau sangat terbatas
-Bila karyawan telah berhasil dibujuk, maka kemungkinan besar mereka akan membantu melaksanakan perubahan
-Dapat memakan waktu yang cukup lama, bila banyak karyawan yang terlibat.
2. Partisipasi & Pelibatan
-Para inisiator perubahan tidak punya informasi yang dibutuhkan untuk merancang perubahan. -Pada saat yang bersamaan ada pihak lain yang mempunyai kekuasaan yang cukup besar.
-Bila karyawan ikut berpartisipasi, maka mereka akan terlibat aktif untuk ikut melaksanakan perubahan, dan informasi relevan yang mereka miliki akan diintegrasikan ke dalam rencana perubahan
-Dapat memakan waktu cukup lama, bila para karyawan yang terlibat, mungkin merancang perubahan yang tidak tepat.
3. Fasilitasi & Dukungan
-Bila resistensi dari karyawan muncul karena masalah penyesuaian diri
-Tidak ada pendekatan lain yang lebih baik untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan penyesuaian diri
-Dapat memakan waktu yang cukup lama, mahal, dan tidak ada jaminan untuk berhasil
4. Negosiasi & Persetujuan
-Bila karyawan atau sekelompok karyawan secara pasti akan terkena dampak perubahan, dan pada sisi lain, karyawan/ kelompok karyawan tsb memiliki kekuasaan yang cukup untuk melakukan resistensi
-Untuk menghindari resistensi yang besar, terkadang pendekatan ini adalah yang relatif mudah untuk dilakukan
-Pada banyak kasus terlalu mahal , karena dapat mengundang pihak lain untuk meminta perlakuan serupa
5. Manipulasi & Kooptasi
-Bila pendekatan lain tidak dapat digunakan atau terlalu mahal
-Penyelesaiannya relatif cepat dan tidak mahal untuk masalah resistensi
-Dapat menimbulkan masalah di masa depan, bila para karyawan tahu mereka telah dimanipulasi
6. Ancaman (baik nyata maupun terselubung)
-Bila dibutuhkan waktu cepat untuk melakukan perubahan, dan para inisiator perubahan memiliki kekuasaan cukup besar.
-Cukup cepat dan dapat mengatasi segala macam resistensi
-Beresiko, khususnya bila ancaman tsb. mendorong kemarahan karyawan kepada para inisiator perubahan.
Selain itu, yang tidak boleh kita lupakan adalah perubahan mungkin juga bersifat menantang dan menyenangkan selain juga mampu menciptakan peluang-peluang baru dan positif. Dalam konteks inilah, sangat penting sekali peran visi dan upaya sungguh-sungguh para pemimpin untuk mengkomunikasikannya. Adalah visi masa depan dan kepemimpinan yang mampu menyatukan sdm. di semua jenjang dan menciptakan momentum bagi perubahan.