Sabtu, September 13, 2008

Visi dan Perubahan Strategis

Banyak perubahan terjadi di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Banyak perusahaan publik diprivatisasi; mekanisme pasar diintrodusir di sektor-sektor yang dulunya monopolistik; konglomerasi atau perusahaan besar kini dipecah-pecah; dan banyak perusahaan mengalami perampingan. Upaya desentralisasi menciptakan struktur perusahaan yang lebih fokus pada ‘unit bisnis strategis’. Isu-isu kerap dilontarkan para pakar mewacanakan implikasi perusahaan jejaring, organisasi federal dan pemberdayaan.
Jelaslah bahwa semua ini telah menempatkan tuntutan-tuntutan baru yang makin berat terhadap kompetensi manajer. Namun perubahan-perubahan ini juga telah mengubah sifat dari apa disebut sebagai ‘kontrak psikologi antara perusahaan dengan karyawan’. Loyalitas pada perusahaan merosot, sehingga ungkapan ‘jobs for life’ tidak lagi berlaku. Struktur baru, yang dikenal sebagai flattened structure, bagi sebagian orang berarti pemberdayaan namun juga bisa berimplikasi ‘pengurangan pegawai’ bagi banyak orang lain.
Pengembangan, implementasi dan manajemen perubahan stratejik menjadi tantangan penting manajemen modern. Banyak penulis berpendapat hal ini mesti diawali dengan perumusan visi stratejik. Kita mesti merumuskan bagaimana jadinya perusahaan dalam 10 sampai 20 tahun lagi. Manajemen mesti mampu memadukan analisa dan insting, knowing, doing, thinking dan sensing. Jadi memvisualisasikan perubahan stratejik tidak sekedar masalah analisa, namun dalam hal ini dibutuhkan kemampuan untuk berimajinasi, mengkonseptualisasikan masa depan, dan tidak ketinggalan, kemauan untuk bereksperimen dan belajar, untuk meraba apa yang mungkin terjadi di masa yang akan datang, untuk menimbang-nimbang bagaimana organisasi akan merespon, dan masih banyak lagi.
Untuk lebih memahami tren sosial, politik, ekonomi dan teknologi dibutuhkan banyak masukan dalam tahap perumusan strategi. Masukan tidak semestinya dibatasi dari internal organisasi saja, namun bisa juga dari luar perusahaan. Selain itu, jika kita ingin menyatukan semua orang secara efektif, maka mesti diterapkan gaya manajemen yang mendorong proses pembelajaran, pengembangan, perumusan dan pengkomunikasian visi. Hal ini menuntut kita memahami proses inovasi, adaptasi dan perubahan — apa-apa yang bisa menghambat perubahan pada level individu, kelompok, unit dan korporat dan apa yang mesti dilakukan untuk menanggulangi apa yang dinamakan para pakar sebagai blockage.
Diagnosa stratejik digerakkan oleh dan/atau dibentuk oleh ide-ide tentang masa depan perusahaan yang dirumuskan dalam ‘visi’. Ada banyak teknik-teknik perumusan visi/ strategi yang diawali dari survei karyawan, survei pelanggan, dan competitive benchmarking, dan lain-lain. Dalam hal ini kita tidak sekedar mengumpulkan bukti simtomatik saja namun juga berupaya memahami apa yang telah terjadi. Kemerosotan angka penjualan dan meningkatnya biaya, misalnya, bisa jadi masalah yang menuntut bentuk perubahan tertentu, namun mustahil bagi kita untuk mengatakan apa tanpa memahami mengapa. Karena kita sering menganggap sesuatu sudah cukup jelas, maka jarang kita benar-benar berusaha memahami apa yang telah terjadi sebagai bagian dari diagnosis awal tentang apa dan bagaimana melakukan perubahan organisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar