Sabtu, September 06, 2008

Resistensi Individual terhadap Perubahan

Kurang cakap mengelola perubahan memunculkan resistensi dari para manajer atau karyawan terhadap perubahan. Resistensi terhadap perubahan, menurut Kreitner dan Kinicki, adalah reaksi yang bersifat emosional serta keperilakuan sebagai respon atas rasa terancam, baik ancaman itu bersifat nyata maupun imajiner, saat terjadi perubahan pada pekerjaan atau rutinitas. Resistensi pada perubahan bisa mewujud dalam berbagai macam bentuk reaksi. Judson menggolongkan bentuk-bentuk resistensi terhadap perubahan ke dalam empat spektrum dalam satu kontinum, yaitu: resistensi aktif (sabotase, memperlambat kerja), resistensi pasif (bekerja sesedikit mungkin, tidak ingin mempelajari tugas baru), reaksi yang lebih sulit diidentifikasi (bekerja hanya berdasarkan instruksi, kehilangan minat terhadap pekerjaan), dan penerimaan (mau bekerja sama atau bahkan antusiasme).

Faktor-faktor yang menyebabkan resistensi pada perubahan, menurut Robbins dan Kreitner & Kinicki antara lain:  a. Kebiasaan. Pada dasarnya, manusia adalah mahluk yang hidup dari kebiasaan yang dibangunnya karena dengan demikian manusia lebih mudah menjalani hidup yang dirasa sudah cukup kompleks. Begitu dihadapkan pada perubahan, maka manusia cenderung enggan merubah kebiasaannya.  b. Ketakutan terhadap munculnya dampak yang tak diinginkan. Perubahan menimbulkan ketidak-pastian, karena perubahan membuat seseorang bergerak dari suatu situasi yang sudah diakrabi menuju pada situasi yang asing dan tidak dia pahami. Akibatnya orang merasa cemas bahwa ujung-ujungnya perubahan akan merugikan dirinya.  c. Faktor-faktor ekonomi. Turunnya penghasilan, kenaikan gaji tidak sesuai harapan, naiknya biaya transport adalah faktor-faktor ekonomi yang memicu resistensi. Bila dampak ekonominya dirasa cukup nyata, maka resistensi karyawan terkait pada perubahan akan makin menguat.  d. Rendahnya kepercayaan dalam situasi kerja. Pimpinan atau manajer yang membangun relasi kerja dengan bawahan atas dasar ketidakpercayaan lebih besar kemungkinannya menghadapi resistensi dari bawahannya bila tiba saatnya dia menggulirkan perubahan. Sementara pimpinan yang mempercayai bawahannya akan mengupayakan perubahan secara terbuka, jujur dan partisipatif. Di sisi lain, bawahan yang dipercaya oleh atasannya menunjukkan upaya yang lebih baik dan memandang perubahan sebagai sebuah peluang. Singkatnya, kepercayaan/ketidak-percayaan dalam relasi kerja bersifat timbal balik.  e. Takut mengalami kegagalan. Proses perubahan yang bersifat menekan memunculkan keraguan pada karyawan akan kemampuannya untuk melakukan pekerjaan dengan baik. Keraguan ini lambat laun akan mengikis kepercayaan dirinya dan melumpuhkan pertumbuhan dan perkembangan dirinya.  f. Hilangnya status atau keamanan kerja. Penggunaan teknologi atau sistim administrasi baru dalam pekerjaan akan mempercepat proses kerja. Namun tidak jarang bisa mengakibatkan berkurangnya pekerjaan. Dampak inilah yang dikhawatirkan. Buat sebagian besar orang, hilangnya pekerjaan berarti hilangnya status dan juga hilangnya penghasilan. Tak heran selalu ada saja mereka yang resisten pada perubahan.  g. Tidak ada manfaat yang diperoleh dari perubahan. Seseorang menunjukkan resistensi pada perubahan bila dirinya tidak memperoleh manfaat sedikitpun bila melakukan perubahan.

Mengundang pakar perubahan untuk mendiskusikan mengenai pengelolaan perubahan yang tepat bisa menjadi salah satu alternatif. Alternatif lainnya adalah dengan mengadakan studi banding ke perusahaan-perusahaan yang sukses mewujudkan perubahan. Para pimpinan, baik di tingkat direksi, divisi atau departemen dan para pelaksana perubahan lainnya mesti bekerja sama dalam sebuah tim yang solid untuk menggerakkan perubahan. Kesatuan visi akan mendongkrak dukungan terhadap upaya perubahan yang digulirkan dan juga meredam resistensi.

 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar