Senin, November 24, 2008

Eksperimen Hawthorne menjungkir-balikkan Manajemen Ilmiah

  Terkait dengan artikel: Manajemen Ilmiah.

Selama sekian lama jawabannya ‘tidak ada’. Kemudian terjadilah adegan penelitian dramatis yang biasanya disebut ‘eksperimen Hawthorne’. Berikut ini adalah kisah tentang percobaan Hawthorne dan The Hawthorne Effect.

            Sebuah tim riset dari Universitas Harvard Amerika Serikat melakukan eksperimen mengenai dampak lampu penerangan terhadap kinerja berbagai kelompok pekerja di Pabrik Hawthorne, bagian dari perusahaan raksasa Western Electric Co. Demi kebutuhan manajemen ilmiah (yang dianut oleh para manajer maupun peneliti pada saat itu), penelitian dilakukan untuk meneliti kondisi tingkat pencahayaan yang sesuai dengan kebutuhan manusia tanpa sedikit pun pemborosan dan inefisiensi. Bagaimanapun, aspek efisiensinya bersifat tidak langsung. Namun apa yang terjadi, malah hal-hal aneh yang tidak bisa dijelaskan.

§         Tingkat pencahayaan ditingkatkan dan produktivitas melonjak.

§         Tingkat pencahayaan diturunkan dan produktivitas melonjak.

§         Tingkat pencahayaan diturunkan lebih rendah lagi dan produktivitas melonjak.

§         Tingkat pencahayaan ditingkatkan lebih tinggi lagi dan produktivitas melonjak.

            Kendati hasilnya sedikit bervariasi antar percobaan, jelaslah perubahan output tidak terpengaruh sama sekali oleh tingkat tingkat pencahayaan.

            Faktor apa yang mampu mendorong kenaikan produktivitas ini? Pekerja dalam berbagai kelompok yang diteliti diamati secara khusus oleh para supervisor dan peneliti. Suara mereka didengar. Mereka ditanya tentang saran-saran mereka untuk meningkatkan produktivitas dan diajak berpartisipasi dalam aspek-aspek kerja yang penting bagi mereka. Hasilnya? Angka absensi dan ijin sakit hanya sepertiga dari rekan-rekan mereka yang lain. Alasannya? Perilaku manusia dan perilaku sosial merekalah yang berperan di balik lonjakan produktivitas dan turunnya angka absensi/ ijin sakit. Bukan uang. Hasil penelitian ini dikenal sebagai ‘Efek Hawthorne’. Perwujudan gagasan manusia sebagai pengambil keputusan ini telah mendorong lahirnya berbagai teori motivasi berdasarkan kebutuhan individu, sebagaimana kini telah Anda akrabi (Maslow 1970; Herzberg, Mausner, dan Snyderman 1959; McGregor 1960).

            Contoh kasus lain dari penelitian yang sama makin mengejutkan para periset. Sebuah bank-wiring room diteliti untuk mengukur pengaruh skema insentif upah (wage-incentive plan) yang canggih. Berdasarkan asumsi Taylor, pekerja akan memaksimalkan upaya sesuai dengan imbalan ekonomis yang dia akan terima. (“Para pekerja adalah pekerja yang rasional dan ekonomis,” kata para manajer ilmiah). Ternyata hal itu tidak terbukti. Penelitian malah menemukan semacam organisasi dalam organisasi. Secara teoritis, pihak manajemenlah yang mampu mendiktekan angka-angka produktivitas. Namun pada praktiknya, ternyata kelompok kerjalah yang membuat aturan-aturan sendiri tentang produktivitas. Norma-norma kelompoklah (standar perilaku normal yang telah disepakati kelompok) yang menentukan tingkat prestasi kerja yang layak. Para pekerja secara individu menulis secara sembarangan laporan output harian, kendati akhirnya laporan mingguan tetap akan dibuat mencapai target.

            Wawancara yang dilakukan kemudian mengungkapkan bahwa kelompok kerja ternyata beroperasi di bawah estimasi kapasitas yang semestinya dan mereka berusaha tidak terlalu bekerja keras untuk menyelaraskan diri dengan ekspektasi kelompok. Mengapa? Ternyata hal ini menyangkut logika kelompok tentang sistem insentif. Bila Anda terlalu kerap mewujudkan prestasi terbaik maka lama-lama standar itu akan dianggap normal, dan tidak lagi memancing insentif. Selain itu, bila hal itu dilakukan maka akan terbukalah siapa-siapa para pekerja yang bekerja lamban. Mereka bisa ditegur, bahkan dipecat. Karena itu solusi manajemen kelompok adalah untuk mencari tingkat insentif yang dirasa adil (felt-fair rate). Prinsip-prinsip ini dijelaskan oleh Robbins.

Janganlah menjadi ratebuster dengan bekerja terlalu keras. Jangan juga bekerja terlalu sedikit. Jangan menjadi pemicu sanksi terhadap teman-temanmu.

Robbins (1992:97)

            Bagaimana kelompok meneguhkan prinsip-prinsip (atau norma) tersebut? Sebagaimana ditulis Robbins, jangan harap metode mereka lembut atau halus. Mereka tak segan-segan memakai senjata sarkasme, ejekan, penghinaan, bahkan sampai memukul lengan atas anggota yang dianggap menabrak norma-norma.

            Buktinya nyata. Para pekerja ternyata memiliki lebih banyak kendali atas pekerjaan mereka. Dalam eksperimen tentang tingkat pencahayaan di atas, terbukti individu memiliki kebutuhan psikologis untuk diakui dan berpartisipasi yang tidak tercakup dalam persamaan menurut aliran Taylor. Sebagai anggota kelompok, individu memiliki kebutuhan untuk menjadi bagian dan diterima sebagai anggota kelompok. Dalam kasus bank-wiring, kelompok kerja membuat strategi manajemen informal sebagai alternatif strategi manajemen formal yang dipaksakan melalui hierarki. Hal ini menggambarkan bahwa bila manajemen tidak bisa diandalkan untuk membuat aturan yang lebih fleksibel ketimbang yang bisa dicapai di bawah logika ekonomi rasional, maka para pekerja sanggup menciptakan hak-hak manajemennya sendiri. Kecenderungan kelompok untuk mengelola diri sendiri adalah Hawthorne Effect yang lain. Berdasarkan temuan ini, diteruskanlah penelitian mendalam tentang perilaku kelompok (Emery 1993; Tyson 1989). Banyak evolusi terjadi dalam penerimaan manajemen terhadap kelompok-kelompok yang mengelola diri sendiri semacam ini (Robbins 1992; Wellins, Byham, dan Wilson 1991). Kelompok-kelompok ini bahkan melegitimasi desain kerja mereka sendiri, yang disebut ‘Desain Partisipatif’ (Emery 1993).

            Hawthorne Effect membuktikan bahwa pekerja akan merespon praktik-praktik yang mengakui dan menjunjung tinggi keberadaan mereka, bagaimana mereka bisa membantu orang lain, dan bagaimana manajemen bisa membantu mereka. Uang memang akan memuaskan kebutuhan fisik. Namun, pengakuan dan kebebasan personal akan memenuhi kebutuhan pekerja untuk memberi kontribusi, memecahkan masalah, dan mendorong konflik dan ketegangan positif yang mengarah pada problem solving secara kreatif. Semua ini pada gilirannya mendongkrak lonjakan produktivitas.

Perubahan mindset dari mengendalikan menjadi memberdayakan pekerja akan mendorong pekerja untuk sukarela memberi stempel pada hasil kerjanya. Hal inilah yang tidak dikehendaki oleh manajer penganut aliran Ford/ modernis. Sayangnya, kebiasaan para modernis ini telah begitu merasuk, baik di sini maupun di belahan dunia lain. Namun apakah kemampuan alami seseorang benar-benar bisa dikontrol? Bukankah ini sebuah tragedi, di mana kejeniusan Taylor dalam menyelaraskan kemampuan seseorang dengan tugas tidak memperhitungkan bahwa manusia adalah manusia seutuhnya yang mampu melihat gambaran yang utuh? Manusia punya semangat yang bisa meruntuhkan penjelasan ilmiah. Kalau manusia sudah berketetapan hati, mereka mampu menghasilkan upaya, stamina, kreativitas, dan keberanian yang luar biasa. Namun, perlu diakui bahwa Taylor dan para manajer ilmiah lainnya telah sukses membangun budaya kerja yang bertahan lama dan diterima luas. Nilai-nilai para modernis diekspresikan sebagai sebuah keyakinan di dunia Barat. Gagasan bahwa uang adalah simbol pengakuan dan imbalan telah diterima luas. Seluruh teori dan praktik manajemen didasarkan pada landasan budaya bahwa kerja mesti diorganisir berdasarkan imbalan moneter sebagai balasan atas kepatuhan dan ketaatan. Dari sinilah lahirlah istilah ‘kompensasi’, yang mengisyaratkan bahwa kerja memang tidak harus dinikmati, sehingga karena itu perlu diberi kompensasi.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar