Selasa, November 04, 2008

Pembangun Budaya Korporat yang adaptif

Penulis buku manajemen perubahan organisasi yang terkenal, John P. Kotter pernah mengajukan pertanyaan: bagaimana perusahaan high performer  mampu mengembangkan budaya adaptif? Dia mendapati bahwa semua budaya adaptif dalam perusahaan–perusahaan ini bersumber dari sejumlah kecil orang, kerapkali malah hanya berasal dari satu orang saja: Adolphus Busch dari Anheuser-Busch, C.R. Smith dari American Airlines, Sam Walton dari Wal-Mart, Marion dan Herb Sandler dari Golden West, Charlie Sanford dari Bankers Trust, Don Kendall (dan mungkin juga Andy Pearson) dari PepsiCo, Bill Hewlett dan Dave Packard dari Hewlett-Packard, Mike Harper dari ConAgra, Joe Albertson dari Albertson’s, keluarga Dayton dari Dayton Hudson, dan Elliot Springs dari Springs Industries. Orang-orang luar biasa ini bersama tim manajemen mereka mengembangkan strategi yang selaras dengan lingkungan bisnis, yang lalu berjalan baik, serta sebagai akibatnya, makin merasuk dalam budaya korporat.

Namun hal yang sama sebenarnya juga berlaku di perusahaan low performer. Hal yang membedakan kedua kelompok ini adalah: di perusahaan high performer, pemimpin memerintahkan manajer untuk mencari filosofi yang langgeng atau seperangkat nilai yang menekankan pemenuhan kebutuhan konstituen dan kepemimpinan, atau mesin penggerak perubahan yang lain. Nilai–nilai tersebut kerap disikapi sinis sebagai suatu bentuk sikap “keibuan”, namun bila diikuti ternyata sangat kuat. Orang–orang ini, beserta para pengikut mereka, lalu melanggengkan bagian budaya yang dinilai adaptif, yaitu bagian nilai–nilai/ filosofi yang menyangkut konstituen dan kepemimpinan, karena mereka sendiri berkepentingan dengan hal–hal tersebut.

          Pada umumnya, tindakan pelestarian budaya ini dilakukan secara sadar dan sengaja. Warren McCann, CEO Albertson’s, menyebut dirinya sendiri sebagai “pemangku budaya korporat (the custodian of the corporate culture)”. John Young, CEO Hewlett-Packard, menyatakan bahwa dia berperan penting “menjaga nilai– nilai inti perusahaan”. Ken Macke, CEO Dayton Hudson, berujar bahwa ia menghabiskan 40% waktunya untuk mengajar orang lain, dan bagian kunci dari pengajaran itu adalah budaya.

          Para eksekutif perusahaan high performer membantu melanggengkan nilai–nilai adaptif dengan berbicara dan menulis mengenai nilai–nilai tersebut. August Busch, CEO Anheuser-Busch saat ini, menyisihkan waktu untuk berjumpa dengan banyak kelompok. Hal ini berarti bertemu dengan masing–masing karyawan sebagai individu yang berjumlah 32.000 orang, setidaknya setahun sekali, dan menjawab pertanyaan–pertanyaan mereka. Banyak CEO yang pernah atau sedang menjabat di 12 perusahaan high performer bekerja sama dengan para manajer menerbitkan dan mengedarkan deklarasi nilai–nilai inti perusahaan. Sebagian besar juga menggunakan komunikasi simbolis. CEO Walter Elisha menempatkan tulisan-tulisan besar untuk mencerminkan nilai–nilai inti Springs Industries. Bob Crandall dan stafnya di American Airlines melakukan hal serupa dengan desain khusus untuk lobby markas besar mereka di Dallas. Arsitektur lobby tersebut meneriakkan “kami peduli pada layanan pelanggan” (ada kantor tiket di lobby tersebut), “kami mempertahankan tarif kami tetap rendah” (ada telepon di sana, bukannya resepsionis), “dan kami berusaha lebih mengglobal” (di dinding ada peta dunia besar yang menunjukkan kota-kota di Amerika yang dilayani perusahaan).

          Mereka ini juga sukses melanggengkan bagian adaptif dari budaya mereka dengan berperilaku konsisten dengan nilai–nilai tersebut. Sebagian besar, seperti Mike Harper (CEO ConAgra) atau Marion Sandler (CEO Golden West), menjadi model teladan bagi nilai–nilai perusahaan. Bahkan dalam krisis sekalipun, mereka jarang sekali mengatakan sesuatu namun berbuat sebaliknya. Perilaku tak konsisten ini bisa merusak budaya.

          Para eksekutif ini merekrut dan mempromosikan orang–orang yang memiliki nilai–nilai pribadi yang konsisten dengan nilai–nilai inti budaya korporat. Mereka tidak menuntut keselarasan yang kaku terhadap filosofi personal mereka. Sebaliknya, banyak yang justru menghargai diversitas dalam berbagai jenjang manajemen. Namun bila seorang bawahan jelas–jelas melanggar nilai inti budaya (misalnya tidak menghargai kepemimpinan), bahkan bila bawahan tersebut terbukti berprestasi, maka  para eksekutif ini tak ragu memberi sanksi keras padanya.

          Saat perusahaan mereka tumbuh dan mengembangkan sistem formal, para eksekutif ini memastikan bahwa sistem tersebut tetap mendorong nilai–nilai adaptif. Mereka umumnya mampu segera menandai sistem kompensasi atau proses penilaian kinerja yang tidak mencerminkan filosofi inti perusahaan. Mereka sangat waspada terhadap bahaya terjadinya perubahan yang tidak diinginkan terhadap jantung budaya, darimana pun sumbernya. Dengan cara ini mereka menghentikan atau membalik kecenderungan tumbuhnya arogansi atau kepicikan sebagai imbas kesuksesan.

          Sebagai hasil upaya–upaya tersebut, meski organisasi mereka selalu berubah (termasuk adanya rekrutmen dan promosi orang–orang baru yang mungkin bersikap sinis), inti adaptif dari budaya mereka tetap hidup. Dengan demikian, kepemimpinan mereka dalam isu budaya telah turut membantu mendorong kinerja ekonomi jangka panjang yang lebih unggul.

2 komentar:

  1. menurut saya, perusahaan indonesia itu terlalu banyak mencontek mati budaya2 corporate dari luar. menjiplak tapi tidak memberikan added value.
    Wuhh, keren mas , blog anda yang satu ini. Semakin semangat saya untuk belajar. Anda dosen ya mas?

    BalasHapus
  2. teorinya sih budaya yg harus dikembangkan harus 'fit' dg tuntutan pasar/kompetisi/stakeholders. Mas Budi benar kalau tantangan/tuntutannya beda dlm konteks Indonesia. dosen pts di malang, mas.. tks.

    BalasHapus