Selasa, Oktober 28, 2008

Karakteristik Organisasi Pembelajar

             Sebuah organisasi tak akan pernah bisa banyak melakukan pembelajaran hingga dia menciptakan sebuah lingkungan yang para individunya bisa belajar. Mungkinkah itu terjadi? Adakah kemungkinan bahwa kita selama ini telah menciptakan organisasi-organisasi yang secara sistematis merenggut hampir apa saja yang hidup, kreatif, alami, dan vital dalam diri seseorang untuk kemudian mematikannya? Bagaimana itu bisa terjadi?

Organisasi pembelajar dibangun diatas asumsi kompetensi yang didukung oleh 4 ciri lain: curiosity (keingintahuan), forgiveness (pemberian ruang maaf), trust (kepercayaan) dan togetherness (kebersamaan).  Asumsi kompetensi artinya bahwa setiap individu diharapkan melakukan pekerjaannya sampai pada batas kompetensinya dengan bimbingan minimal. Gagasan ini merupakan inti dari konsep "the professional" . Asumsi kompetensi dalam organisasi menjadi sangat menarik di mata seorang talen penuh bakat. Ini adalah faktor penting bagi siapa saja yang bermaksud menarik perhatian talen-talen terbaik.

Selama ini banyak organisasi berjalan di atas asumsi inkompetensi. Ciri asumsi ini adalah adanya kontrol dan komando, aturan dan prosedur-prosedur, lapisan-lapisan kuasa manajemen dan piramida kekuasaan. Semua itu menuntut banyak biaya. Sebaliknya, asumsi kompetensi menganjurkan flat organization (organisasi dengan hanya satu level kepemimpinan; tidak hirarkis), dimana ada lebih sedikit pengawas yang mengawasi pengawas lain. Organisasi seperti ini jauh lebih responsif, efisien dan efektif. Organisasi ini tetap memandang penting dilakukannya training di masa-masa awal, akulturasi cara pandang dan nilai-nilai organisasi dan beberapa bentuk kriteria kualifikasi sebelum seseorang diterima bekerja. Hanya dalam organisasi-organisasi seperti ini kebiasaan  belajar dimulai lebih awal. Kompetensi saja, meski hal ini berarti adanya banyak proses pembelajaran sebelumnya, tidak cukup untuk melahirkan kebiasaan belajar. Dalam proses itu harus ada rasa keingintahuan (curiosity). Lihatlah bagaimana seorang anak kecil belajar. Pertanyaannya tidak habis-habis. Keingintahuannya seolah tidak pernah terpuaskan. Tetapi keingintahuan tidaklah selesai dengan pertanyaan. Pertanyaan membutuhkan jawaban dan orang yang benar-benar ingin tahu akan mencari jawaban-jawaban. Hal ini seringkali perlu eksperimentasi. Proses inilah yang didorong untuk dilaksanakan dalam organisasi pembelajar, dengan syarat terdapat asumsi kompetensi dan pemberian wewenang untuk melakukan eksperimen.

          Karena eksperimen bisa saja gagal, pemberian ruang maaf menjadi penting. Eksperimen-eksperimen yang tidak sukses mesti dipandang sebagai bagian dari proses belajar, sebagai pelajaran yang diambil hikmahnya, bukan sebagai kegagalan. Kita juga bisa belajar dari eksperimen-eksperimen yang sukses. Bentuk pembelajaran yang terakhir ini bukan untuk dimaafkan melainkan untuk dirayakan. Sebuah perusahaan yang terkenal atas dorongannya terhadap eksperimentasi secara terus-menerus di semua level dan atas apresiasinya atas kesuksesan adalah 3M. Perusahaan ini selain memberi imbalan pada yang sukses, juga berterima kasih pada mereka yang mencoba bereksperimen tetapi tidak berhasil. Dua aspek ini amat penting dalam organisasi pembelajar.

          Tidak ada satu pun dari hal-hal ini, yaitu kompetensi, keingintahuan, pemberian ruang maaf atau perayaan kesuksesan, yang dapat menumbuhkan  sebuah organisasi pembelajar jika tidak ada kepercayaan (trust). Seseorang bisa jadi sangat memiliki kompetensi, tetapi kita tidak akan setuju bahwa dia berkompeten kecuali kita percaya padanya.  Tentu sulit mempercayai seseorang yang kita tidak kenal atau yang kita tidak pernah melihatnya bekerja. Seseorang yang hanya kita ketahui namanya melalui memo bukanlah orang yang tepat untuk pengambilan resiko. Bagi organisasi pembelajar, implikasi-implikasi dari fakta tentang manusia yang sederhana ini sangatlah banyak. Berapa banyak orang yang dapat dikenal dengan cukup baik agar bisa dipercaya? Kepada jawaban atas pertanyaan tersebut bergantunglah seluruh desain dan struktur perusahaan.

          Salah satu solusinya adalah kebersamaan. Sedikit sekali, itupun jika ada, masalah-masalah bisnis saat ini yang bisa ditangani oleh satu orang saja yang bekerja sendirian. Keingintahuan, eksperimen dan pemberian ruang maaf memang harus dibagi bersama. Orang yang belajar sendiri biasanya merupakan pembelajar yang lambat dan buruk, sementara para pembelajar yang bekerjasama bisa saling belajar dan bersinergi. Kebutuhan akan adanya kebersamaan, baik untuk menyelesaikan suatu pekerjaan atau untuk mendorong dilakukannya eksplorasi yang penting bagi setiap organisasi yang sedang tumbuh, menciptakan kondisi saling mempercayai. Sebaliknya, saling percaya dapat meningkatkan kebersamaan.

          Kelompok yang terlalu besar untuk bisa merasakan kebersamaan atau yang tidak punya tujuan bersama yang mampu mengikat para anggotanya sulit menciptakan saling-percaya. Jika hal itu terjadi, akan ada orang-orang yang dengan cepat memaksakan kembali sistem kontrol dan pengarahan dari atas, menganggap mereka yang di bawahnya tidak memiliki kompetensi (assumption of incompetence), menghambat eksperimentasi dan tidak mau memberi ruang maaf. Kondisi seperti ini akan menghambat kreatifitas, juga membuat pembelajaran sulit terjadi.

          Meski ada kepercayaan dan kebersamaan, organisasi pembelajar bukanlah tempat nyaman bagi para pimpinan. Ini adalah tempat yang posisinya terbalik, di mana porsi kekuasaan lebih banyak terletak di “pinggiran”, bukan di pusat. Dalam budaya seperti ini, kekuasaan yang dipaksakan tidak akan berjalan mulus. Organisasi ini ditegakkan bersama dengan kepercayaan dan nilai-nilai yang sama, oleh orang-orang yang punya komitmen pada orang lain dan pada tujuan bersama. Ini merupakan metode kontrol yang jauh lebih longgar.

          Cara menjalankan organisasi yang tidak lazim ini memerlukan teori yang kuat untuk mendukung argumentasinya; dalam hal ini, teori pembelajaran. Pembelajaran yang sebenarnya tidaklah persis seperti apa yang kita alami di masa kecil. Pembelajaran tidaklah sekedar menghafal fakta-fakta, latihan dengan mengulang-ulang materi, atau menghafal nilai-nilai tradisional. Meskipun kegiatan-kegiatan tersebut mungkin perlu dalam pembelajaran, akan tetapi itu hanya mencakup sebagian kecil dari proses yang lebih besar.

1 komentar:

  1. hai there.

    saya tertarik dengan topik ini untuk menjadikan topik tesis saya.

    apa saya bisa minta referensi bahan/buku dari apa yang telah anda tulis di atas?

    terima kasih sebelumnya.

    BalasHapus