Kamis, Oktober 30, 2008

Masa Depan bukan perpanjangan dari masa kini

Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, di mana kita semua tahu dengan pasti bahwa tidak ada sesuatu pun yang pasti, kita akan membutuhkan organisasi-organisasi yang memperbaharui diri, menata ulang dan memperkuat diri secara terus menerus. Organisasi-organisasi inilah yang disebut dengan organisasi pembelajar, yaitu organisasi yang mempunyai kebiasaan belajar. Tanpa kebiasaaan belajar tersebut, kita tidak akan pernah memimpikan mimpi, apatah lagi mengatur mimpi.

          Sebagaimana halnya dengan dunia yang telah berubah, proses pembelajaran pun telah berubah. Jika masa depan memang merupakan perpanjangan dari masa kini, maka masuk akal jika kita berasumsi bahwa apa yang terbukti berhasil saat ini juga akan berhasil tahun depan. Tetapi asumsi seperti ini harus segera kita buang jauh-jauh saat ini. Dunia bukanlah benda yang stabil, termasuk dunia bisnis. Kita sedang melihat perubahan yang tidak hanya bergerak semakin cepat tetapi juga kadang tiba-tiba berhenti, bersifat diskontinyu dan tidak mengikuti alur logis. Selama terjadinya perubahan seperti itu, hampir bisa dijamin bahwa apa yang dinilai berhasil untuk saat ini tidak akan berhasil sepanjang waktu. Pendekatan-pendekatan lama untuk perubahan hanya akan menambah-nambahi saja. Di samping itu pendekatan-pendekatan itu terlalu lamban.

          Masa  casy cartels (indahnya kebersamaan sekelompok perusahaan yang sebenarnya terpisah tetapi secara bersama-sama  meningkatkan keuntungan dengan kesepakatan untuk tidak saling  bersaing satu sama lain) telah berlalu. Yang tinggal adalah superioritas teknologi dan jaminan peluang pasar. Tidak heran jika usia rata-rata perusahaan hanya berkisar 40 tahun, sebelum mereka tercaplok perusahaan lain, gulung tikar, atau melakukan merger. Perusahaan-perusahaan yang tidak mau berubah maupun yang terus menerus berubah tanpa sesekali berhenti pada akhirnya akan tamat riwayatnya.

          Saat ini kita begitu banyak mendengar kata perubahan sehingga kata ini menjadi klise. Daripada kata perubahan yang terus-menerus diucapkan sampai kita bosan mendengarnya, akan lebih tepat kita mengatakan bahwa kita semua, baik sebagai individu maupun organisasi harus merangkul kebiasaan belajar itu, yaitu kebiasaan-belajar yang baru. Adalah kebiasaan belajar tersebut yang akan mengubah asumsi-asumsi lama tentang manajemen. 

Selasa, Oktober 28, 2008

Karakteristik Organisasi Pembelajar

             Sebuah organisasi tak akan pernah bisa banyak melakukan pembelajaran hingga dia menciptakan sebuah lingkungan yang para individunya bisa belajar. Mungkinkah itu terjadi? Adakah kemungkinan bahwa kita selama ini telah menciptakan organisasi-organisasi yang secara sistematis merenggut hampir apa saja yang hidup, kreatif, alami, dan vital dalam diri seseorang untuk kemudian mematikannya? Bagaimana itu bisa terjadi?

Organisasi pembelajar dibangun diatas asumsi kompetensi yang didukung oleh 4 ciri lain: curiosity (keingintahuan), forgiveness (pemberian ruang maaf), trust (kepercayaan) dan togetherness (kebersamaan).  Asumsi kompetensi artinya bahwa setiap individu diharapkan melakukan pekerjaannya sampai pada batas kompetensinya dengan bimbingan minimal. Gagasan ini merupakan inti dari konsep "the professional" . Asumsi kompetensi dalam organisasi menjadi sangat menarik di mata seorang talen penuh bakat. Ini adalah faktor penting bagi siapa saja yang bermaksud menarik perhatian talen-talen terbaik.

Selama ini banyak organisasi berjalan di atas asumsi inkompetensi. Ciri asumsi ini adalah adanya kontrol dan komando, aturan dan prosedur-prosedur, lapisan-lapisan kuasa manajemen dan piramida kekuasaan. Semua itu menuntut banyak biaya. Sebaliknya, asumsi kompetensi menganjurkan flat organization (organisasi dengan hanya satu level kepemimpinan; tidak hirarkis), dimana ada lebih sedikit pengawas yang mengawasi pengawas lain. Organisasi seperti ini jauh lebih responsif, efisien dan efektif. Organisasi ini tetap memandang penting dilakukannya training di masa-masa awal, akulturasi cara pandang dan nilai-nilai organisasi dan beberapa bentuk kriteria kualifikasi sebelum seseorang diterima bekerja. Hanya dalam organisasi-organisasi seperti ini kebiasaan  belajar dimulai lebih awal. Kompetensi saja, meski hal ini berarti adanya banyak proses pembelajaran sebelumnya, tidak cukup untuk melahirkan kebiasaan belajar. Dalam proses itu harus ada rasa keingintahuan (curiosity). Lihatlah bagaimana seorang anak kecil belajar. Pertanyaannya tidak habis-habis. Keingintahuannya seolah tidak pernah terpuaskan. Tetapi keingintahuan tidaklah selesai dengan pertanyaan. Pertanyaan membutuhkan jawaban dan orang yang benar-benar ingin tahu akan mencari jawaban-jawaban. Hal ini seringkali perlu eksperimentasi. Proses inilah yang didorong untuk dilaksanakan dalam organisasi pembelajar, dengan syarat terdapat asumsi kompetensi dan pemberian wewenang untuk melakukan eksperimen.

          Karena eksperimen bisa saja gagal, pemberian ruang maaf menjadi penting. Eksperimen-eksperimen yang tidak sukses mesti dipandang sebagai bagian dari proses belajar, sebagai pelajaran yang diambil hikmahnya, bukan sebagai kegagalan. Kita juga bisa belajar dari eksperimen-eksperimen yang sukses. Bentuk pembelajaran yang terakhir ini bukan untuk dimaafkan melainkan untuk dirayakan. Sebuah perusahaan yang terkenal atas dorongannya terhadap eksperimentasi secara terus-menerus di semua level dan atas apresiasinya atas kesuksesan adalah 3M. Perusahaan ini selain memberi imbalan pada yang sukses, juga berterima kasih pada mereka yang mencoba bereksperimen tetapi tidak berhasil. Dua aspek ini amat penting dalam organisasi pembelajar.

          Tidak ada satu pun dari hal-hal ini, yaitu kompetensi, keingintahuan, pemberian ruang maaf atau perayaan kesuksesan, yang dapat menumbuhkan  sebuah organisasi pembelajar jika tidak ada kepercayaan (trust). Seseorang bisa jadi sangat memiliki kompetensi, tetapi kita tidak akan setuju bahwa dia berkompeten kecuali kita percaya padanya.  Tentu sulit mempercayai seseorang yang kita tidak kenal atau yang kita tidak pernah melihatnya bekerja. Seseorang yang hanya kita ketahui namanya melalui memo bukanlah orang yang tepat untuk pengambilan resiko. Bagi organisasi pembelajar, implikasi-implikasi dari fakta tentang manusia yang sederhana ini sangatlah banyak. Berapa banyak orang yang dapat dikenal dengan cukup baik agar bisa dipercaya? Kepada jawaban atas pertanyaan tersebut bergantunglah seluruh desain dan struktur perusahaan.

          Salah satu solusinya adalah kebersamaan. Sedikit sekali, itupun jika ada, masalah-masalah bisnis saat ini yang bisa ditangani oleh satu orang saja yang bekerja sendirian. Keingintahuan, eksperimen dan pemberian ruang maaf memang harus dibagi bersama. Orang yang belajar sendiri biasanya merupakan pembelajar yang lambat dan buruk, sementara para pembelajar yang bekerjasama bisa saling belajar dan bersinergi. Kebutuhan akan adanya kebersamaan, baik untuk menyelesaikan suatu pekerjaan atau untuk mendorong dilakukannya eksplorasi yang penting bagi setiap organisasi yang sedang tumbuh, menciptakan kondisi saling mempercayai. Sebaliknya, saling percaya dapat meningkatkan kebersamaan.

          Kelompok yang terlalu besar untuk bisa merasakan kebersamaan atau yang tidak punya tujuan bersama yang mampu mengikat para anggotanya sulit menciptakan saling-percaya. Jika hal itu terjadi, akan ada orang-orang yang dengan cepat memaksakan kembali sistem kontrol dan pengarahan dari atas, menganggap mereka yang di bawahnya tidak memiliki kompetensi (assumption of incompetence), menghambat eksperimentasi dan tidak mau memberi ruang maaf. Kondisi seperti ini akan menghambat kreatifitas, juga membuat pembelajaran sulit terjadi.

          Meski ada kepercayaan dan kebersamaan, organisasi pembelajar bukanlah tempat nyaman bagi para pimpinan. Ini adalah tempat yang posisinya terbalik, di mana porsi kekuasaan lebih banyak terletak di “pinggiran”, bukan di pusat. Dalam budaya seperti ini, kekuasaan yang dipaksakan tidak akan berjalan mulus. Organisasi ini ditegakkan bersama dengan kepercayaan dan nilai-nilai yang sama, oleh orang-orang yang punya komitmen pada orang lain dan pada tujuan bersama. Ini merupakan metode kontrol yang jauh lebih longgar.

          Cara menjalankan organisasi yang tidak lazim ini memerlukan teori yang kuat untuk mendukung argumentasinya; dalam hal ini, teori pembelajaran. Pembelajaran yang sebenarnya tidaklah persis seperti apa yang kita alami di masa kecil. Pembelajaran tidaklah sekedar menghafal fakta-fakta, latihan dengan mengulang-ulang materi, atau menghafal nilai-nilai tradisional. Meskipun kegiatan-kegiatan tersebut mungkin perlu dalam pembelajaran, akan tetapi itu hanya mencakup sebagian kecil dari proses yang lebih besar.

Sabtu, Oktober 25, 2008

Perubahan Transformasional dan Perubahan Budaya


Perubahan transformasional (transformational change) berbeda dari inisiatif perubahan karena perubahan transformasional akan berhadapan dengan identitas, nilai-nilai dan budaya perusahaan. Perubahan fundamental yang juga sering disebut sebagai pembaharuan (renewal), penemuan kembali (reinvention), transformasi, atau rekayasa ulang tersebut menghasilkan apa yang disebut ‘perubahan mendalam (deep change)’ oleh Robert Quinn, yaitu perubahan di mana nilai-nilai, keyakinan, dan asumsi-asumsi yang selama ini dipegang dengan kuat akan ditantang dan dimodifikasi. Contoh-contoh yang layak disebut di sini adalah General Electric dan Sears. Ketika GE dan Sears berupaya melakukan perubahan praktek-praktek dalam perusahaan, efek kumulatif dari perubahan ini ternyata juga menuntut perubahan budaya atau identitas perusahaan yang bersifat fundamental.

            Para profesional sumber daya manusia yang hendak melakukan perubahan budaya organisasi akan menghadapi tantangan yang sulit. Hanya ada sedikit perusahaan yang sukses mewujudkan perubahan budaya secara tuntas. Untuk mensukseskan program Workout yang dibentuk GE misalnya, perusahaan membentuk sebuah kelompok yang terdiri dari para akademisi dan konsultan yang ditugaskan untuk bekerja sama dengan divisi-divisi usaha GE yang berbeda-beda untuk menggerakkan perubahan budaya perusahaan yang diinginkan. Kelompok ini bertemu setiap empat bulan selama tahun 1989 untuk merencanakan dan meninjau kemajuan upaya perubahan budaya di masing-masing divisi usaha GE, dengan tujuan untuk menghimpun berbagai pengalaman anggota kelompok untuk membangun pondasi bagi seluruh upaya perubahan budaya dalam GE. Diskusi pada salah satu pertemuan banyak mengungkapkan konsep dan praktek perubahan budaya berskala besar yang berjalan saat itu.

Dalam percakapan informal setelah makan malam, seseorang mengajukan pertanyaan pada para pakar mengenai perusahaan apa yang telah terlibat atau telah menyelesaikan perubahan budaya tanpa mengalami krisis, sehingga tim GE dapat belajar dari pengalaman mereka. Pertanyaan tersebut diajukan dalam ruangan di mana terdapat para pakar dengan pengalaman memberi konsultasi selama bertahun-tahun dan para penulis yang telah menulis lebih dari 25 buku dan ratusan artikel. Namun ketika para pakar tersebut mencoba menyebutkan perusahaan-perusahaan yang telah sukses melakukan perubahan budaya, daftarnya menjadi sangat pendek. Beberapa perusahaan terkenal telah menciptakan budaya baru (seperti Nike, Apple, Intel, dan Microsoft), namun sebagian besar perusahaan tersebut menciptakan budaya baru, bukannya melakukan perubahan budaya lama menjadi budaya baru. Perusahaan lain bangkit lagi setelah berada di ambang bencana (seperti Harley-Davidson) dengan daya saing baru, tapi prestasi perusahaan-perusahaan tersebut lebih pada keberhasilan turnaround, bukannya transformasi. Konsep perubahan budaya yang dicetuskan para akademisi sejak tahun 1980an, belum sepenuhnya tergali dalam bidang bisnis. Sementara para eksekutif berbicara dan para akademisi menulis mengenai perubahan budaya, mereka belum mengalaminya sendiri.

            Sejak tahun 1989, komitmen terhadap perubahan budaya telah berkembang secara dramatis. Perubahan budaya bukan lagi bentuk abstrak dari ’non-imitable competitive advantage’ sebagaimana sering dibicarakan dalam lingkup akademis, namun menjadi jantung dari misi utama yang diemban oleh para eksekutif puncak. Para eksekutif puncak seperti John F. Welch dari General Electric, Lawrence Bossidy dari AlliedSignal, Arthur Martinez dari Sears, William Weiss dari Ameritech, dan Michael Walsh dari Tenneco berbicara panjang lebar mengenai pentingnya perubahan budaya bagi perusahaan mereka dan bagi keberhasilan pribadi mereka sebagai CEO. Dalam menanggapi upaya klien mereka untuk melakukan perubahan budaya, berbagai perusahaan konsultan seperti Index, Gemini, Andersen, dan McKinsey, telah memperluas praktek manajemen perubahan yang mereka miliki. Salah satu konsultan menyatakan bahwa di masa depan, mereka perlu merekrut 1.200 konsultan tambahan yang terutama mengurusi permintaan klien mereka di bidang konsultasi mengenai perubahan budaya.

            Banyak hal telah dipelajari dalam beberapa tahun terakhir ini mengenai perubahan budaya dan mengenai bagaimana para profesional sumber daya manusia memainkan peran penting. Secara ringkas, lima langkah berikut ini menggambarkan esensi peran para profesional sumber daya manusia dalam keberhasilan perubahan budaya, yaitu (1) merumuskan dan memperjelas konsep perubahan budaya; (2) menjelaskan mengapa perubahan budaya menjadi issu sentral bagi kesuksesan perusahaan; (3) menetapkan proses untuk menilai budaya yang berlaku, budaya yang diharapkan, dan kesenjangan antara keduanya; (4) mengidentifikasi pendekatan-pendekatan alternatif untuk menggerakkan perubahan budaya; dan (5) menyusun rencana aksi yang mensinergikan berbagai pendekatan perubahan budaya.