Rabu, Agustus 27, 2008

Kepemimpinan Transformasional dan Perubahan

Sebuah penelitian yang kemudian dibukukan membedakan ciri-ciri kepemimpinan transformasional dengan kepemimpinan transaksional. Beberapa figur yang banyak diperikan sebagai menerapkan kepemimpinan transformasional antara lain adalah Jack Welch, yang pada awal 1980-an mampu menyelamatkan General Electric dari kehancuran. Pada awal 1990-an, figur Lou Gertsner sukses mengentaskan IBM yang nyaris karam didera rugi menjadi perusahaan raksasa yang diburu investor. Mungkin dalam konteks Indonesia, bisa disebutkan figur kuat Dr. Kuntoro Mangkusubroto, mantan direktur utama PT Timah yang berhasil menerapkan strategi turn-around di organisasinya pada era 90-an. Pada situasi lain mungkin tepat pula menunjuk Robby Johan di Bank Mandiri dan Cacuk Sudaryanto di Telkom, yang mampu mengubah perusahaan yang berdarah-darah menjadi berlaba.
Kepemimpinan transformasional mungkin dapat dikhtisarkan oleh pernyataan Tichy dan Ulrich sebagai berikut: “Apabila manajer transaksional hanya membuat penyesuaian-penyesuaian kecil pada misi, struktur dan manajemen S.D.M, maka pemimpin transformasional tidak sekedar membongkar ketiga bidang ini namun juga mendorong perubahan besar-besaran pada sistem politik dan budaya organisasi. Pembongkaran sistem politik dan budaya-lah yang benar-benar membedakan pemimpin transformasional dengan transaksional.”
Penggantian pekerjaan-pekerjaan repetitif dengan mesin, penekanan pada pengetahuan dan kebutuhan pada inovasi menyadarkan para pemimpin untuk menyesuaikan gaya kepemimpinannya agar supaya lebih bersifat kolaboratif ketimbang mengandalkan cara-cara hirarkis.
Hal ini tidak berarti penekanan pada pendekatan lembek atas kepemimpinan kemudian mengabaikan keputusan-keputusan ‘keras’ yang perlu dibuat pada pelbagai situasi tertentu. Pandangan ini bisa dikaitkan dengan strategi perubahan ‘E’ dan ‘O’ menurut Beer dan Nohria. Pendekatan perubahan E lebih didasarkan pada nilai-nilai ekonomis, sementara pendekatan O berdasarkan pada kapabilitas organisasi. Jadi, dalam pendekatan perubahan E (bisa diistilahkan pendekatan keras), nilai menurut pemegang saham adalah satu-satunya ukuran absah sukses perusahaan. Implikasinya adalah acap dipilihnya insentif ekonomis, pemecatan, downsizing, dan restrukturisasi. Pemimpin yang mengadopsi pendekatan O (bisa diistilahkan pendekatan lembek) percaya bahwa mereka mesti mengutamakan pengembangan budaya perusahaan dan kapabilitas s.d.m. melalui pembelajaran individual dan pembelajaran organisasi dalam proses kolaborasi dengan karyawan di semua jajaran.
Menerapkan pendekatan E dan O bergantian sangat muskil bagi kebanyakan pemimpin perubahan. Mengkombinasikan keduanya bisa-bisa hanya memperoleh sisi negatif kedua pendekatan ini. Misalnya, melipatgandakan return bagi pemegang saham melalui pendekatan E bisa-bisa malah membuyarkan komitmen, kerja sama, dan kreativitas yang diperlukan bagi keunggulan bersaing berkelanjutan. Sebaliknya, pendekatan O bisa menyulitkan pengambilan keputusan-keputusan pelik dalam rangka menyelamatkan perusahaan. Beer dan Nohria menyarankan bahwa, kecuali organisasi punya pemimpin-pemimpin yang punya kemampuan, kemauan dan kearifan untuk menerapkan kedua pendekatan ini; lebih baik perusahaan mengurutkan pendekatannya secara bergantian, dengan mengutamakan pendekatan E dulu sebelum kemudian menerapkan pendekatan O.
Pertanyaan yang tetap menggantung adalah: apakah satu pendekatan kepemimpinan tertentu lebih cocok ketimbang pendekatan lainnya tanpa peduli pada tahap-tahap perkembangan organisasi, lingkungan di mana organisasi berada atau situasi orang-orang yang bekerja di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar