Senin, Agustus 25, 2008

Mengapa Perubahan Organisasi Gagal

Tingginya tingkat kegagalan program perubahan organisasi cukup mengejutkan, mengingat banyaknya saran-saran dan buku-buku panduan perubahan bersifat ‘how to’ yang banyak mewarnai literatur manajemen. Sementara itu, dalam konteks Indonesia bisa dikatakan materi-materi di bidang ini masih sangat terbatas, kecuali buku-buku terjemahan yang mengunggulkan satu jenis program tertentu, misalnya buku tentang rekayasa-ulang, TQM, dll.
Di negara-negara Barat, banyak pengarang di bidang ini menawarkan model-model manajemen perubahan terencana. Walau masing-masing berbeda dalam sudut pandang, kesemuanya menganut pendekatan manajemen perubahan ‘langkah-demi-langkah’ secara sistematis. Umumnya model-model ini terdiri dari sejumlah fase yang dikenal sebagai ‘model generik manajemen perubahan organisasi terencana’,
Tersirat di balik model-model manajemen perubahan adalah ekspektasi bahwa manajer memiliki ‘basis pengetahuan’, dan juga ‘keahlian’ untuk mengelola perubahan secara efektif. Namun, tingginya tingkat kegagalan program perubahan organisasi mengindikasikan bahwa sebenarnya kebanyakan manajer tak memenuhi harapan tersebut. Bukti-bukti dalam literatur manajemen juga menunjukkan adanya sebuah pola yang bisa diprediksi di sebagian besar organisasi yang gagal melaksanakan program perubahan.
Biasanya, program diawali dengan pengumuman inisiatif perubahan baru oleh manajemen puncak, lalu segera diikuti dengan rentetan program pelatihan singkat di seluruh perusahaan agar semua orang ‘siap berlari’, pembentukan komite-komite lintas-fungsional untuk membicarakan ‘langkah maju’ dan kemudian alokasi ulang dan penataan ulang sumber-sumber daya. Namun, melewati proses ini, organisasi dan manajemen kehilangan alasan dan fokus untuk berubah, yang lalu berdampak hilangnya momentum dan sumber daya. Perubahan kemudian gagal. Walau penyebab kegagalan bisa beragam, namun kebanyakan bersumber dari dalam organisasi, antara lain:
· semua orang memandang perubahan sebagai tujuan ketimbang sebagai sebuah proses yang memerlukan perencanaan, persiapan, manajemen proyek dan perhatian yang konsisten,
· visi tentang tujuan jangka pendek maupun jangka panjang tidak jelas
· peninggalan program perubahan organisasi sebelumnya yang gagal karena penanganan buruk menciptakan budaya skeptis dan cenderung menghindari resiko
· gagal memberikan dukungan, pelatihan dan ketrampilan yang diperlukan yang memungkinkan karyawan mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri atas perubahan organisasi
· kurangnya komunikasi menyangkut perubahan termasuk, misalnya, memberi informasi pada karyawan terlalu bertahap, yang beresiko tumbuh-kembangnya gosip negatif.
· Terlalu memfokuskan upaya perubahan secara sempit pada satu aspek organisasi dan mengabaikan ‘keterkaitannya’ pada kehidupan organisasi. Misalnya, investasi pada pelatihan manajemen untuk merubah gaya manajerial namun lalai menyesuaikan sistem imbalan untuk mendukung perubahan yang diperlukan dalam perilaku manajerial.
Kegagalan-kegagalan tersebut merupakan contoh kelemahan atau omission dalam penerapan apa yang disebut sebagai pendekatan ‘best practices’ pada manajemen perubahan terencana. Kerap kali model-model yang ditawarkan bersifat terlalu simplistis dan tidak lebih dari sekedar common sense belaka. Dapat juga merupakan dampak dari kurang ahlinya agen perubahan, termasuk di dalamnya para manajer, instruktur dan konsultan. Selain itu, kegagalan mungkin disebabkan sebab-sebab yang lebih mendasar atau kegagalan dalam memfasilitasi dan mengelola perubahan organisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar