Senin, November 24, 2008

Eksperimen Hawthorne menjungkir-balikkan Manajemen Ilmiah

  Terkait dengan artikel: Manajemen Ilmiah.

Selama sekian lama jawabannya ‘tidak ada’. Kemudian terjadilah adegan penelitian dramatis yang biasanya disebut ‘eksperimen Hawthorne’. Berikut ini adalah kisah tentang percobaan Hawthorne dan The Hawthorne Effect.

            Sebuah tim riset dari Universitas Harvard Amerika Serikat melakukan eksperimen mengenai dampak lampu penerangan terhadap kinerja berbagai kelompok pekerja di Pabrik Hawthorne, bagian dari perusahaan raksasa Western Electric Co. Demi kebutuhan manajemen ilmiah (yang dianut oleh para manajer maupun peneliti pada saat itu), penelitian dilakukan untuk meneliti kondisi tingkat pencahayaan yang sesuai dengan kebutuhan manusia tanpa sedikit pun pemborosan dan inefisiensi. Bagaimanapun, aspek efisiensinya bersifat tidak langsung. Namun apa yang terjadi, malah hal-hal aneh yang tidak bisa dijelaskan.

§         Tingkat pencahayaan ditingkatkan dan produktivitas melonjak.

§         Tingkat pencahayaan diturunkan dan produktivitas melonjak.

§         Tingkat pencahayaan diturunkan lebih rendah lagi dan produktivitas melonjak.

§         Tingkat pencahayaan ditingkatkan lebih tinggi lagi dan produktivitas melonjak.

            Kendati hasilnya sedikit bervariasi antar percobaan, jelaslah perubahan output tidak terpengaruh sama sekali oleh tingkat tingkat pencahayaan.

            Faktor apa yang mampu mendorong kenaikan produktivitas ini? Pekerja dalam berbagai kelompok yang diteliti diamati secara khusus oleh para supervisor dan peneliti. Suara mereka didengar. Mereka ditanya tentang saran-saran mereka untuk meningkatkan produktivitas dan diajak berpartisipasi dalam aspek-aspek kerja yang penting bagi mereka. Hasilnya? Angka absensi dan ijin sakit hanya sepertiga dari rekan-rekan mereka yang lain. Alasannya? Perilaku manusia dan perilaku sosial merekalah yang berperan di balik lonjakan produktivitas dan turunnya angka absensi/ ijin sakit. Bukan uang. Hasil penelitian ini dikenal sebagai ‘Efek Hawthorne’. Perwujudan gagasan manusia sebagai pengambil keputusan ini telah mendorong lahirnya berbagai teori motivasi berdasarkan kebutuhan individu, sebagaimana kini telah Anda akrabi (Maslow 1970; Herzberg, Mausner, dan Snyderman 1959; McGregor 1960).

            Contoh kasus lain dari penelitian yang sama makin mengejutkan para periset. Sebuah bank-wiring room diteliti untuk mengukur pengaruh skema insentif upah (wage-incentive plan) yang canggih. Berdasarkan asumsi Taylor, pekerja akan memaksimalkan upaya sesuai dengan imbalan ekonomis yang dia akan terima. (“Para pekerja adalah pekerja yang rasional dan ekonomis,” kata para manajer ilmiah). Ternyata hal itu tidak terbukti. Penelitian malah menemukan semacam organisasi dalam organisasi. Secara teoritis, pihak manajemenlah yang mampu mendiktekan angka-angka produktivitas. Namun pada praktiknya, ternyata kelompok kerjalah yang membuat aturan-aturan sendiri tentang produktivitas. Norma-norma kelompoklah (standar perilaku normal yang telah disepakati kelompok) yang menentukan tingkat prestasi kerja yang layak. Para pekerja secara individu menulis secara sembarangan laporan output harian, kendati akhirnya laporan mingguan tetap akan dibuat mencapai target.

            Wawancara yang dilakukan kemudian mengungkapkan bahwa kelompok kerja ternyata beroperasi di bawah estimasi kapasitas yang semestinya dan mereka berusaha tidak terlalu bekerja keras untuk menyelaraskan diri dengan ekspektasi kelompok. Mengapa? Ternyata hal ini menyangkut logika kelompok tentang sistem insentif. Bila Anda terlalu kerap mewujudkan prestasi terbaik maka lama-lama standar itu akan dianggap normal, dan tidak lagi memancing insentif. Selain itu, bila hal itu dilakukan maka akan terbukalah siapa-siapa para pekerja yang bekerja lamban. Mereka bisa ditegur, bahkan dipecat. Karena itu solusi manajemen kelompok adalah untuk mencari tingkat insentif yang dirasa adil (felt-fair rate). Prinsip-prinsip ini dijelaskan oleh Robbins.

Janganlah menjadi ratebuster dengan bekerja terlalu keras. Jangan juga bekerja terlalu sedikit. Jangan menjadi pemicu sanksi terhadap teman-temanmu.

Robbins (1992:97)

            Bagaimana kelompok meneguhkan prinsip-prinsip (atau norma) tersebut? Sebagaimana ditulis Robbins, jangan harap metode mereka lembut atau halus. Mereka tak segan-segan memakai senjata sarkasme, ejekan, penghinaan, bahkan sampai memukul lengan atas anggota yang dianggap menabrak norma-norma.

            Buktinya nyata. Para pekerja ternyata memiliki lebih banyak kendali atas pekerjaan mereka. Dalam eksperimen tentang tingkat pencahayaan di atas, terbukti individu memiliki kebutuhan psikologis untuk diakui dan berpartisipasi yang tidak tercakup dalam persamaan menurut aliran Taylor. Sebagai anggota kelompok, individu memiliki kebutuhan untuk menjadi bagian dan diterima sebagai anggota kelompok. Dalam kasus bank-wiring, kelompok kerja membuat strategi manajemen informal sebagai alternatif strategi manajemen formal yang dipaksakan melalui hierarki. Hal ini menggambarkan bahwa bila manajemen tidak bisa diandalkan untuk membuat aturan yang lebih fleksibel ketimbang yang bisa dicapai di bawah logika ekonomi rasional, maka para pekerja sanggup menciptakan hak-hak manajemennya sendiri. Kecenderungan kelompok untuk mengelola diri sendiri adalah Hawthorne Effect yang lain. Berdasarkan temuan ini, diteruskanlah penelitian mendalam tentang perilaku kelompok (Emery 1993; Tyson 1989). Banyak evolusi terjadi dalam penerimaan manajemen terhadap kelompok-kelompok yang mengelola diri sendiri semacam ini (Robbins 1992; Wellins, Byham, dan Wilson 1991). Kelompok-kelompok ini bahkan melegitimasi desain kerja mereka sendiri, yang disebut ‘Desain Partisipatif’ (Emery 1993).

            Hawthorne Effect membuktikan bahwa pekerja akan merespon praktik-praktik yang mengakui dan menjunjung tinggi keberadaan mereka, bagaimana mereka bisa membantu orang lain, dan bagaimana manajemen bisa membantu mereka. Uang memang akan memuaskan kebutuhan fisik. Namun, pengakuan dan kebebasan personal akan memenuhi kebutuhan pekerja untuk memberi kontribusi, memecahkan masalah, dan mendorong konflik dan ketegangan positif yang mengarah pada problem solving secara kreatif. Semua ini pada gilirannya mendongkrak lonjakan produktivitas.

Perubahan mindset dari mengendalikan menjadi memberdayakan pekerja akan mendorong pekerja untuk sukarela memberi stempel pada hasil kerjanya. Hal inilah yang tidak dikehendaki oleh manajer penganut aliran Ford/ modernis. Sayangnya, kebiasaan para modernis ini telah begitu merasuk, baik di sini maupun di belahan dunia lain. Namun apakah kemampuan alami seseorang benar-benar bisa dikontrol? Bukankah ini sebuah tragedi, di mana kejeniusan Taylor dalam menyelaraskan kemampuan seseorang dengan tugas tidak memperhitungkan bahwa manusia adalah manusia seutuhnya yang mampu melihat gambaran yang utuh? Manusia punya semangat yang bisa meruntuhkan penjelasan ilmiah. Kalau manusia sudah berketetapan hati, mereka mampu menghasilkan upaya, stamina, kreativitas, dan keberanian yang luar biasa. Namun, perlu diakui bahwa Taylor dan para manajer ilmiah lainnya telah sukses membangun budaya kerja yang bertahan lama dan diterima luas. Nilai-nilai para modernis diekspresikan sebagai sebuah keyakinan di dunia Barat. Gagasan bahwa uang adalah simbol pengakuan dan imbalan telah diterima luas. Seluruh teori dan praktik manajemen didasarkan pada landasan budaya bahwa kerja mesti diorganisir berdasarkan imbalan moneter sebagai balasan atas kepatuhan dan ketaatan. Dari sinilah lahirlah istilah ‘kompensasi’, yang mengisyaratkan bahwa kerja memang tidak harus dinikmati, sehingga karena itu perlu diberi kompensasi.

 

Minggu, November 23, 2008

Manajemen Ilmiah dari Frederick Taylor

Manajemen Ilmiah

            Misalnya Anda adalah seorang pekerja muda berusia 20-an yang ingin bekerja di satu tempat. Mungkin saja itu perusahaan jasa, pabrik atau perusahaan kecil—di mana pun itu. 

Berdasarkan perlakuan yang Anda terima di tempat kerja, Anda bisa menduga bahwa manajer anda menganut prinsip-prinsip dan metode manajemen ilmiah dari F.W. Taylor, yang pada gilirannya mewarnai pandangan sang manajer bahwa ‘Hampir semua pekerja yang kompeten cenderung berlambat-lambat dalam bekerja sambil tetap meyakinkan atasannya bahwa dia bekerja sesuai kecepatan yang ditentukan. Di bawah sistem kami, pekerja diberi tahu dulu tugas-tugas yang mesti dikerjakannya dan bagaimana melakukannya. Perubahan seremeh apapun yang dia lakukan terhadap perintah bisa berakibat fatal bagi kesuksesan karirnya’ (Taylor 1929). Secara singkat, empat prinsip-prinsip Taylor adalah sebagai berikut: hanya ada satu cara terbaik untuk mengorganisir pekerjaan (yaitu manajemen) berdasarkan metode rekayasa; pekerja secara ilmiah mesti dipasangkan dengan tugas-tugas spesifik; formula manajemen adalah ‘supervisi, imbalan, dan sanksi; dan tugas manajer adalah merencanakan, mengkoordinasi, dan mengendalikan.

            Menurut aliran Taylorisme, pekerjaan dibagi-bagi berdasarkan komponen yang sudah disederhanakan, terspesialisasi, dan baku. Para pekerja mesti beradaptasi terhadap mesin. Pengetahuan yang Anda peroleh sebagai pekerja hanya sebatas yang perlu saja, dan deskripsi kerja dirancang berdasarkan pengetahuan tersebut. Wewenang dan pengambilan keputusan merupakan hak atasan. Berpikir, mengendalikan, dan mengkoordinasikan dilakukan oleh para manajer.  Anda dibayar hanya untuk bekerja, dan hal ini dinyatakan dengan jelas. Anda adalah bagian manajemen modern, yang dicirikan oleh kontrol yang ketat, pengambilan keputusan top-down yang sentralistis, serta tugas-tugas yang telah terprogram dan terinci. Anda tidak perlu repot-repot berpikir, karena justru bisa membahayakan diri Anda sendiri. Berpikir adalah aktivitas yang berkaitan dengan pengambilan keputusan dan pengumpulan informasi, dan hal itu adalah hak prerogatif manajemen. Memang untuk itulah manajemen dibayar.

            Sebagai pekerja muda dalam era manajemen ilmiah, dunia Anda akan diatur orang lain. Anda akan dipas-paskan dengan pekerjaan Anda beserta alat-alat yang terkait dengannya, sehingga Anda sekarang tidak lebih hanyalah tangan dan kaki tambahan bagi mesin. Pelajaran paling berharga dari Taylor atau dari praktisi/ pakar manajemen berpengaruh lainnya (misalnya McGregor 1960, Peters dan Austin 1985, Kanter 1984, Senge 1992) adalah bahwa teori-teori dan praktik yang mereka ajarkan semuanya didasarkan pada pandangan pribadi mereka tentang hakikat manusia dan bagaimana manusia semestinya diperlakukan. Taylor berguna tidak saja untuk menjelaskan warisan manajemen kuno kepada kita, namun juga sebagai model kerja tentang bagaimana cara pandang manajer membentuk cetak-biru di benaknya saat mereka memanajemeni orang-orang lain. Pandangan personal ini memiliki efek berantai hingga praktik manajemen level terbawah. Jadi, bisa kita simpulkan bahwa manajemen sumber daya manusia berangkat dari cara pandang manajer terhadap manusia dalam setting pekerjaan. Pandangan ini mampu mewarnai filosofi dasar manajemen, yang pada gilirannya akan menentukan keputusan-keputusan tentang desain kerja. Dari sini, hampir semua aspek kerja akan turut terimbas pula. Bagan 1.2 menggambarkan bagaimana dua sudut pandang yang bertolak belakang melahirkan gaya supervisi manajemen yang amat berbeda. Dari tabel ini, Anda bisa mengetahui bagaimana Taylor memandang kehidupan kerja Anda.

 

Pandangan A

Manusia itu pandai dan mampu.

Manusia itu bertanggung jawab.

Manusia mampu mengelola diri sendiri.

Manusia mampu berpikir.

Pandangan B

Manusia itu tunduk dan patuh.

Manusia itu tidak bertanggung jawab.

Manusia perlu diawasi/ disupervisi.

Manusia mampu melaksanakan.

 

Gaya A

Gaya kepenyeliaan: pemberdayaan.

Informasi dibagi.

Atmosfernya terbuka/ saling percaya.

Gaya ini mengorganisir proses.

Hierarki lebih datar.

Penggunaan tim untuk mengelola.

Konsumen mengarahkan kinerja.

Hasil tim lebih dihargai.

Multikemampuan dihargai.

Maksimalisasi kontak pemasok/konsumen

Gaya ini mengajari orang untuk berpikir dan belajar.

Gaya B

Gaya kepenyeliaan: pengendalian.

Informasi disaring.

Atmosfer tertutup/ serba curiga.

Gaya ini mengorganisir tugas.

Hierarki piramid.

Manajer terbiasa mengelola.

Profitabilitas mengarahkan kinerja.

Kinerja individual lebih dihargai.

Kecakapan spesifik dihargai.

Kontak pemasok/ konsumen dibatasi.

Gaya ini mengajari orang untuk mengikuti solusi yang didiktekan.

 

Bagan 1.2  Dua pandangan bertolak belakang tentang manusia di lingkungan kerja sebagaimana diindikasikan oleh gaya kepenyeliaan/ supervisory styles (diadaptasi dari ide dalam Business Week, Des. 1993, hal. 46, memakai data McKinsey & Co).

 

            Menurut filosofi ala Taylor yang tercermin dalam Pandangan B, para supervisor menentukan kemampuan yang mesti Anda pakai. Anda tidak perlu ikut mengambil keputusan. Anda akan diawasi dan kerja Anda akan diukur waktunya secara ketat. Pergerakan Anda dimonitor untuk mengetahui presisi dan kepatuhan Anda. Anda melapor pada atasan langsung. Anda hanya bisa menduga-duga apa yang terjadi di level atas berdasarkan gosip-gosip yang beredar. Supervisor Anda beserta manajernya mengontrol informasi tentang penjadwalan, kinerja, siapa yang mengerjakan apa, dan fakta-fakta menarik lainnya. Dia memutuskan apa yang perlu Anda ketahui dan menyampaikan tuntutan kerja spesifik serta ancaman terselubung tentang masa depan karir Anda seandainya Anda tidak patuh. Anda belajar untuk tidak mempercayai siapa pun, terutama atasan Anda, kendati Anda tetap melihat-lihat situasi tentang siapa-siapa yang patut Anda percayai. Isyarat-isyarat tentang perasaan pekerja yang ditempel di papan pengumuman di kantin, misalnya puisi berjudul “Janji yang Lagi-lagi Meleset’, tidak sedikit pun mengusik pihak manajemen. Singkatnya, mereka memang tidak mau mendengar suara pekerja. Setiap hari Jum’at siang, Anda tidak tahu, Anda akan membawa pulang amplop gaji atau surat pemecatan karena alasan penciutan. Bila manajemen tidak punya keluhan tentang Anda dan masih membutuhkan produktivitas Anda, Anda akan membawa pulang gaji. Bila mereka tidak butuh Anda, Anda akan menerima surat pemecatan. Tidak begitu keliru kalau Anda merasa bahwa di mata seorang manajer ilmiah, Anda tidak lebih sebuah barang dagangan.

            Para manajer ilmiah dengan seenaknya menganggap Anda mau begitu saja mengabaikan pilihan-pilihan Anda sendiri perihal bagaimana, kapan, dan dengan siapa Anda ingin bekerja. Bagi mereka, Anda akan menggadaikan upaya Anda demi uang berdasarkan persamaan berikut ini.

Lebih banyak upaya = lebih banyak uang.    

Sedikit upaya = sedikit uang.

 

            Dengan demikian Anda akan diminta mengerahkan ketrampilan Anda (dan bukan jiwa Anda) pada pekerjaan. Tak lama kemudian akan timbul kolusi antara Anda dan manajemen (mungkin secara tak sengaja, mungkin tidak disadari) untuk menjadikan uang sebagai simbol keunggulan. Menurut prinsip-prinsip ini, bila bahan baku atau masa kelesuan menghambat kemampuan Anda untuk mencetak lebih banyak uang, maka status, gengsi, dan harga diri Anda akan ikut terkikis seiring dengan keringnya dompet Anda. Kemampuan Anda mencetak uang menjadi indikator segala hal yang kita namakan saja ‘keuntungan pribadi’. Seandainya suatu saat keselamatan diri Anda mesti bertolak belakang dengan keuntungan pribadi, mana yang akan Anda pilih dan mana yang akan Anda korbankan? Adakah filosofi lain yang cukup kuat untuk mengatasi dampak filosofi manajemen rasional/ ekonomis macam itu, mungkin begitu pikir Anda?

Senin, November 17, 2008

Mengelola Modal Intelektual menghadapi persaingan global

Dalam lingkungan bisnis global yang selalu berubah dan menuntut kemajuan teknologi, bagaimana mendapatkan dan mempertahankan karyawan unggul merupakan ajang kompetisi tersendiri. Seperti halnya tim olah raga yang agresif merekrut atlet-atlet terbaik, organisasi bisnis masa depan akan bersaing ketat demi mendapat karyawan terbaik. Hanya sedikit orang yang mumpuni. Perusahaan sukses adalah mereka yang paling mahir dalam menarik, mengembangkan dan mempertahankan orang-orang dengan kecakapan, wawasan dan pengalaman memadai untuk menggerakkan bisnis. Manajer yang paling dicari memiliki modal intelektual yang dibutuhkan untuk menciptakan dan mendistribusikan barang dan jasa ke dalam bisnis global.

            Mengamankan modal intelektual berarti mengembangkan kepemimpinan. Kepemimpinan masa depan fokus pada tim dan merupakan kepemimpinan bersama, tidak lagi dikuasai satu orang. Kepemimpinan masa depan lebih merupakan process pioneering dan pengambilan resiko berkelanjutan ketimbang kecakapan memecahkan masalah. Untuk menyesuaikan diri dengan tren ini, pemimpin bisnis masa depan harus menjadi GloPats, yaitu para manajer yang tidak canggung bermain di berbagai konteks global, yang menghargai dan dapat mengatasi perbedaan budaya sembari menyeimbangkan skala ekonomi global dengan kemampuan merespon pasar lokal. Pengisian posisi kepemimpinan dengan pemimpin jenis baru butuh model kepemimpinan baru. Para pemimpin yang memiliki keterampilan yang dibutuhkan di masa depan boleh jadi belum tersedia saat ini, tapi mereka dapat diciptakan atau ditemukan.

            Mengamankan modal intelektual juga berarti belajar berbagi gagasan dan informasi ke segenap perusahaan dengan lebih cepat. Beberapa perusahaan besar saat ini sedang mencoba knowledge networks dengan memanfaatkan teknologi (misalnya Internet dan electronic bulletin boards) untuk memfasilitasi lkonsultansi individual sehingga mampu menemukan dan berbagi pengetahuan dengan cepat.  Dari beberapa studi tentang organisasi pembelajar, ditemukan bahwa pembelajaran berlangsung di tempat-tempat dimana gagasan dilahirkan (misalnya pendekatan kerja baru) dan disebarkan secara merata ke seluruh bagian perusahaan. Mengamankan modal intelektual berarti gagasan-gagasan baru disemai dan disebarkan. Manajer dan profesional SDM harus mendorong kebijakan dan praktik yang memfasilitasi pembelajaran ini.

            Mengamankan modal intelektual berarti tidak sekedar pembelajaran, namun pembelajaran cepat (rapid learning). Perusahaan yang melakukan rapid learning mampu menyebarkan gagasan dan inovasi dengan cepat secara lintas batas melalui perbaikan proses alur informasi. Rapid learning akan menyusul setelah para manajer mengubah peluang menjadi visi, mentransformasikan visi menjadi aksi dan menyelaraskan aksi dengan konsumen. Pengelolaan proses yang efektif menciptakan organisasi di mana half-life of intellectual capital terus memendek. (Dalam istilah pengetahuan, half-life berarti waktu yang dibutuhkan agar setengah dari pengetahuan khusus yang kita miliki telah menjadi pengetahuan publik). Menciptakan organisasi di mana modal intelektual secara teratur terbaharui akan menjadi aspek penting bagi kerja SDM di masa depan.

            Tugas mengamankan modal intelektual mengubah proses pengukuran di perusahaan. Ukuran kesuksesan yang sejak dulu fokus pada economic capital (misalnya profitabilitas atau kinerja finansial), kini harus disertai dengan ukuran modal intelektual. Perumusan, penemuan dan penggunaan ukuran tersebut termasuk tantangan utama yang dihadapi profesional SDM masa depan.

 

Jumat, November 14, 2008

Biografi Obama: Misi dari Planet Kripton

Di sebuah acara makan malam untuk pengumpulan dana kampanye, Barack Obama pernah melontarkan guyonan bahwa dia sebenarnya utusan planet Kripton yang membawa misi menyelamatkan dunia. Kisah tentang Obama bukanlah kisah tentang orang yang meraih kejayaan dari kekayaan, namun kisah tentang seorang ’outsider’ yang dengan gilang gemilang mampu menemukan jalur ’insider’ bagi dirinya.

Dia selalu mampu mengatasi tantangan sebagai ‘orang luar’, apakah itu sebagai satu-satunya anak Amerika di sebuah sekolah dasar di Indonesia, atau sebagai salah satu dari lima pelajar non kulit putih dari 1.600 siswa di SMA terfavorit di Hawaii. Terbentuk oleh orang-orang di sekitarnya, dibarengi dengan kualitas pribadinya yang cerdas, membumi, rendah hati sekaligus disiplin, dia berbakat merangkul banyak teman sekaligus merubah pandangan orang.  Nah, sekarang dia ingin merubah Amerika, dan tentunya itu bisa berarti merubah dunia.  

Barack Hussein Obama II dilahirkan pada tanggal 4 Agustus 1961 di Honolulu dari rahim seorang mahasiswa Universitas Hawaii yang masih amat belia, gadis kulit putih pindahan dari Kansas yang pindah ke negara bagian itu bersama orang tuanya.  Ayahnya, Barack Obama Sr., seorang mahasiswa asing dari Kenya yang mendapat beasiswa belajar di Hawaii. Sebenarnya dia telah memiliki empat anak karena menikah muda pada umur 18 tahun, namun istrinya telah diceraikannya sebelum berangkat ke Amerika. 

Orang tua Obama berpisah ketika dia masih berusia dua tahun.  Setelah perceraian pada tahun 1964 itu, ayahnya kembali ke Kenya di mana dia menikah kembali dan memiliki  tambahan tiga anak lagi. Dia hanya sempat menengok Obama sekali pada tahun 1971, sebelum satu kecelakaan mobil merenggut nyawanya pada tahun 1982.  Auma Obama, adik tiri Obama, mengatakan :  ”Ayah selalu bicara tentang dia, bahwa satu hari kelak Barack akan pulang ke Kenya”.

Sementara Ann Dunham melanjutkan kuliahnya setelah bercerai, dia terpaksa hidup dari kupon bantuan makanan pemerintah dan bantuan dari orang tuanya untuk merawat Obama sendirian. Akhirnya dia menikah lagi dengan mahasiswa asing Universitas Hawaii lainnya, Lolo Soetoro dari Indonesia.

Keluarga muda ini kemudian pindah ke Jakarta yang baru terguncang oleh pergantian rezim. Seiring ekonomi yang membaik, adik tiri Obama, Maya lahir pada tahun 1970.  Sebentar Obama mencoba membaur di SD Katolik Asisi, namun tak bertahan lama. Di sekolah dasar yang baru SDN Besuki, Obama atau yang akrab dipanggil Barry, langsung mencuri perhatian. Dia satu-satunya wajah non-Indonesia di kelas yang dipenuhi anak-anak yang lebih kurus dan pendek.  Kebiasaan Barry memakai tangan kiri nampak aneh di mata-mata temannya yang memandang hal itu kurang sopan. Namun dalam waktu tak lebih dari tiga bulan dia sudah mahir berbahasa Indonesia dan mulai punya banyak teman.

Banyak orang yang penasaran bagaimana reaksi Obama pada serangan terhadap Amerika Serikat, dan boleh jadi kita bisa sedikit mengira-ngiranya dari satu kejadian di masa kecilnya.

Seorang anak nakal pernah melempar Obama dengan batu membuat kepalanya berdarah.  ”Obama hanya diam saja, ibunya selalu melarang dia berkelahi”, kenang seorang teman yang lain. ”Dia tidak pernah nakal atau berbuat usil. Dia bisa dibilang anak yang mendapat banyak limpahan kasih sayang”.  Menginjak usia sepuluh tahun, ibunya Ann yang waktu itu bekerja dengan USAID, mengirim Obama ke Hawaii untuk tinggal bersama kakek-neneknya, Madelyn dan Stanley Dunham.

Pengaruh didikan mereka begitu mendalam di saat yang tepat pula, dan bisa dipahami apabila Obama terpaksa  cuti dari kampanyenya untuk mengunjungi neneknya yang sedang memburuk kesehatannya. Dikabarkan dia tak mampu membendung linangan air mata ketika dikabari kepergian neneknya hanya selang sehari sebelum hari pemilihan presiden.

Pada Perang Dunia Kedua, Madelyn bekerja di pabrik pesawat tempur di Kansas sementara suaminya pergi berperang.  Begitu perang berakhir, mereka pindah dan mendapatkan rumah di Hawaii mengikuti program pemerintah bagi para eks pejuang perang. Merekalah contoh-contoh positif bentuk dukungan negara  yang kemudian membekas pada pemikiran Obama.  Mereka bekerja keras agar Ann mendapat pendidikan yang terbaik. Maka ketika cucu mereka balik ke Hawaii mereka menyokong biaya sekolah Obama hingga kemudian bisa melanjutkan ke sekolah elit di SMA Punahou. 

Pengalamannya bersekolah di sana tidak selalu mulus. Dia hanya segelintir pelajar berkulit hitam di sekolah itu, namun dia tidak pernah mengeluh dan emosinya tak pernah terpancing setiap kali dia diusik.  Hanya selang beberapa tahun kemudian, ketika Obama menggambarkan siksaan rasial yang dialaminya di masa remaja dalam buku biografinya, Dreams From My Father, baru sahabat-sahabat karibnya saat itu menyadari betapa terluka hatinya.

Bagi mereka dia tidak lebih dari remaja biasa yang melihat karir satu-satunya di masa depan hanyalah sebagai pemain basket dan yang tidak terlepas dari godaan mariyuana, kokain dan alkohol.  Selanjutnya Obama belajar ilmu politik di Universitas Columbia, New York dan merintis karir sebagai wartawan ekonomi. Setahun kemudian dia memanfaatkan program potongan pajak dan pindah ke Chicago untuk menjadi direktur LSM yang didanai gereja. Dia merasa pekerjaannya itu lebih bermanfaat bagi masyarakat.

Atasannya waktu itu, Gerald Kellman, berkata: “Dia bersedia membela kepentingan orang miskin dan orang-orang yang terpuruk karena diskriminasi. Dia sangat idealistis. Obama terinspirasi oleh Dr Martin Luther King dan gerakan persamaan hak-hak sipil.”

Obama harus menjadi anggota sebuah gereja untuk mendapat dukungan pimpinan gereja bagi proyek-proyek LSM-nya dan dia bergabung pada Trinity United Curch of Christ, di mana Oprah Winfrey juga pernah tergabung.

Untuk melapangkan jalannya, Obama balik kuliah dan dengan gilang gemilang meraih summa cum laude di Sekolah Hukum Harvard. Di sela-sela liburnya dia pulang pergi ke Chicago, di mana dia bertemu gadis bernama Michelle Robinson di sebuah kantor pengacara tempat mereka sama-sama bekerja. Mereka bertunangan dua tahun kemudian dan dinikahkan pada tahun 1992 oleh Pendeta Dr Jeremiah Wright di gereja Trinity.

Loretta Augustine-Herron, salah satu undangan pernikahan berkata : “Kami tahu dia akan melenggang meraih cita-citanya. Bahkan di acara resepsi dia bertanya apa yang bisa dilakukan untuk teman-temannya. Saya hanya berteriak: ’Barack, satu-satunya yang kuinginkan adalah tiket masuk pesta perjamuan kepresidenan setelah kau dilantik’.”

Obama terus berjuang sebagai pengacara hak-hak sipil, membangun reputasi nasional yang kemudian sukses mengawalnya ke dunia politik. Buku Dreams From My father diterbitkan pada tahun 1995,  tahun di mana ibunda Obama meninggal karena kanker. Tidak lama berselang, anak pertamanya lahir. Dia memiliki dua anak perempuan, Malia dan Sasha.

Dia mencalonkan diri sebagai senator Illinois pada tahun 2004 dan terpilih menjadi senator berkulit hitam kelima dalam sejarah Amerika. Hanya tinggal satu langkah lagi... Ternyata itu terwujud tepat pada tanggal 4 November 2008.

Sumber Utama: The Sun

Senin, November 10, 2008

Budaya Korporat yang Adaptif

Budaya korporat yang bisa membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi terhadap perubahan lingkunganlah yang akan menghasilkan kinerja superior dalam jangka panjang. Sedangkan budaya tidak adaptif umumnya sangat birokratis. Anggota organisasi sangat reaktif, menghindari risiko, dan tidak begitu kreatif. Informasi tidak mengalir dengan cepat dan mudah ke segenap bagian organisasi. Penekanan terhadap kontrol secara luas memperlemah motivasi dan antusiasme. Budaya adaptif tentunya kebalikan dari itu semua dan memiliki karakteristik yang sangat berbeda.

          Menurut Ralph Kilmann, budaya adaptif diwarnai oleh pendekatan pengambilan risiko, saling percaya dan proaktif. Para anggota aktif mendukung upaya koleganya untuk mengidentifikasi masalah dan menerapkan solusi efektif. Setiap orang saling percaya, mereka yakin tanpa ragu bahwa mereka mampu mengelola masalah dan peluang apapun secara efektif. Semua orang memiliki antusiasme yang sama, semangat untuk melakukan apapun untuk mencapai sukses organisasi. Para anggota terbuka terhadap perubahan dan inovasi.”  Rosabeth Kanter berargumen bahwa budaya adaptif menghargai dan mendorong kewirausahaan yang akan membantu perusahaan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan  dan memungkinkan organisasi mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang–peluang baru. Kotter memiliki pandangan yang sama, hanya dia menekankan kepemimpinan ketimbang entrepreneurialisme. Dia berargumen bahwa fungsi utama kepemimpinan adalah menggerakkan perubahan, dan jika satu budaya mendukung aktivitas tersebut ke seluruh hirarki perusahaan, maka akan terbentuk sikap berani mengambil risiko, inisiatif, komunikasi, dan motivasi.

                    3M adalah contoh kasus. Perusahaan 3M secara sadar mempromosikan budaya yang mampu menghadapi perubahan. Sudah bertahun-tahun para manajer 3M mencoba meraih angka persentase penjualan minimum dari ’produk baru’. Perusahaan memiliki norma budaya yang mendorong pendanaan inisiatif pengembangan yang prospektif, terutama bila inisiatif itu muncul dari level terbawah. Perusahaan bangga karena terbuka mengevaluasi gagasan–gagasan baru dan mengambil risiko secara cermat. Dalam proses ini, perusahaan mampu menciptakan bidang-bidang usaha baru yang penting.

          Tom Peters adalah tokoh yang paling gigih membela konsep budaya adaptif. Untuk menyingkirkan model ekonomi tradisional yang berfokus pada pemegang saham, Peters menekankan pada “pelanggan” dan menyatakan bahwa bila budaya menghargai pelanggan, dan menciptakan perubahan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, budaya itu akan membantu menciptakan organisasi adaptif. 

Kotter menekankan pentingnya semua konstituen yang mendukung bisnis, khususnya pelanggan, pemegang saham, dan karyawan. Kotter tidak pernah menyatakan secara eksplisit mengapa budaya manajerial perlu memperdulikan konstituen tersebut. Namun logika implisitnya begini: para manajer akan berjuang melipatgandakan kinerja ekonomi bila mereka peduli pada kepentingan pemegang saham, dan dalam industri yang kompetitif hal ini hanya mungkin terjadi bila mereka sungguh-sungguh peduli pada pelanggan, dan dalam pasar tenaga kerja kompetitif hal ini hanya mungkin terjadi bila mereka peduli pada  orang–orang yang melayani pelanggan, yaitu karyawan. Dengan kata lain, Kotter menyatakan bahwa lingkungan yang harus diadaptasi oleh para manajer terdiri dari para konstituen tersebut. Kotter berargumen bahwa perusahaan tidak akan bisa beradaptasi terhadap perubahan dengan sukses sebelum para manajer memperhatikan pihak–pihak tersebut.

Selasa, November 04, 2008

Pembangun Budaya Korporat yang adaptif

Penulis buku manajemen perubahan organisasi yang terkenal, John P. Kotter pernah mengajukan pertanyaan: bagaimana perusahaan high performer  mampu mengembangkan budaya adaptif? Dia mendapati bahwa semua budaya adaptif dalam perusahaan–perusahaan ini bersumber dari sejumlah kecil orang, kerapkali malah hanya berasal dari satu orang saja: Adolphus Busch dari Anheuser-Busch, C.R. Smith dari American Airlines, Sam Walton dari Wal-Mart, Marion dan Herb Sandler dari Golden West, Charlie Sanford dari Bankers Trust, Don Kendall (dan mungkin juga Andy Pearson) dari PepsiCo, Bill Hewlett dan Dave Packard dari Hewlett-Packard, Mike Harper dari ConAgra, Joe Albertson dari Albertson’s, keluarga Dayton dari Dayton Hudson, dan Elliot Springs dari Springs Industries. Orang-orang luar biasa ini bersama tim manajemen mereka mengembangkan strategi yang selaras dengan lingkungan bisnis, yang lalu berjalan baik, serta sebagai akibatnya, makin merasuk dalam budaya korporat.

Namun hal yang sama sebenarnya juga berlaku di perusahaan low performer. Hal yang membedakan kedua kelompok ini adalah: di perusahaan high performer, pemimpin memerintahkan manajer untuk mencari filosofi yang langgeng atau seperangkat nilai yang menekankan pemenuhan kebutuhan konstituen dan kepemimpinan, atau mesin penggerak perubahan yang lain. Nilai–nilai tersebut kerap disikapi sinis sebagai suatu bentuk sikap “keibuan”, namun bila diikuti ternyata sangat kuat. Orang–orang ini, beserta para pengikut mereka, lalu melanggengkan bagian budaya yang dinilai adaptif, yaitu bagian nilai–nilai/ filosofi yang menyangkut konstituen dan kepemimpinan, karena mereka sendiri berkepentingan dengan hal–hal tersebut.

          Pada umumnya, tindakan pelestarian budaya ini dilakukan secara sadar dan sengaja. Warren McCann, CEO Albertson’s, menyebut dirinya sendiri sebagai “pemangku budaya korporat (the custodian of the corporate culture)”. John Young, CEO Hewlett-Packard, menyatakan bahwa dia berperan penting “menjaga nilai– nilai inti perusahaan”. Ken Macke, CEO Dayton Hudson, berujar bahwa ia menghabiskan 40% waktunya untuk mengajar orang lain, dan bagian kunci dari pengajaran itu adalah budaya.

          Para eksekutif perusahaan high performer membantu melanggengkan nilai–nilai adaptif dengan berbicara dan menulis mengenai nilai–nilai tersebut. August Busch, CEO Anheuser-Busch saat ini, menyisihkan waktu untuk berjumpa dengan banyak kelompok. Hal ini berarti bertemu dengan masing–masing karyawan sebagai individu yang berjumlah 32.000 orang, setidaknya setahun sekali, dan menjawab pertanyaan–pertanyaan mereka. Banyak CEO yang pernah atau sedang menjabat di 12 perusahaan high performer bekerja sama dengan para manajer menerbitkan dan mengedarkan deklarasi nilai–nilai inti perusahaan. Sebagian besar juga menggunakan komunikasi simbolis. CEO Walter Elisha menempatkan tulisan-tulisan besar untuk mencerminkan nilai–nilai inti Springs Industries. Bob Crandall dan stafnya di American Airlines melakukan hal serupa dengan desain khusus untuk lobby markas besar mereka di Dallas. Arsitektur lobby tersebut meneriakkan “kami peduli pada layanan pelanggan” (ada kantor tiket di lobby tersebut), “kami mempertahankan tarif kami tetap rendah” (ada telepon di sana, bukannya resepsionis), “dan kami berusaha lebih mengglobal” (di dinding ada peta dunia besar yang menunjukkan kota-kota di Amerika yang dilayani perusahaan).

          Mereka ini juga sukses melanggengkan bagian adaptif dari budaya mereka dengan berperilaku konsisten dengan nilai–nilai tersebut. Sebagian besar, seperti Mike Harper (CEO ConAgra) atau Marion Sandler (CEO Golden West), menjadi model teladan bagi nilai–nilai perusahaan. Bahkan dalam krisis sekalipun, mereka jarang sekali mengatakan sesuatu namun berbuat sebaliknya. Perilaku tak konsisten ini bisa merusak budaya.

          Para eksekutif ini merekrut dan mempromosikan orang–orang yang memiliki nilai–nilai pribadi yang konsisten dengan nilai–nilai inti budaya korporat. Mereka tidak menuntut keselarasan yang kaku terhadap filosofi personal mereka. Sebaliknya, banyak yang justru menghargai diversitas dalam berbagai jenjang manajemen. Namun bila seorang bawahan jelas–jelas melanggar nilai inti budaya (misalnya tidak menghargai kepemimpinan), bahkan bila bawahan tersebut terbukti berprestasi, maka  para eksekutif ini tak ragu memberi sanksi keras padanya.

          Saat perusahaan mereka tumbuh dan mengembangkan sistem formal, para eksekutif ini memastikan bahwa sistem tersebut tetap mendorong nilai–nilai adaptif. Mereka umumnya mampu segera menandai sistem kompensasi atau proses penilaian kinerja yang tidak mencerminkan filosofi inti perusahaan. Mereka sangat waspada terhadap bahaya terjadinya perubahan yang tidak diinginkan terhadap jantung budaya, darimana pun sumbernya. Dengan cara ini mereka menghentikan atau membalik kecenderungan tumbuhnya arogansi atau kepicikan sebagai imbas kesuksesan.

          Sebagai hasil upaya–upaya tersebut, meski organisasi mereka selalu berubah (termasuk adanya rekrutmen dan promosi orang–orang baru yang mungkin bersikap sinis), inti adaptif dari budaya mereka tetap hidup. Dengan demikian, kepemimpinan mereka dalam isu budaya telah turut membantu mendorong kinerja ekonomi jangka panjang yang lebih unggul.

Senin, November 03, 2008

Karyawan pun bisa membuat keajaiban

Peter Drucker mengatakan bahwa di masa depan, organisasi hanya memiliki setengah dari jumlah level manajerial yang ada saat ini. Jumlah manajer yang bertahan hanya kurang dari sepertiga jumlah manajer yang ada saat ini. Organisasi masa depan akan sangat berbeda dari ‘model manufaktur’ yang berlaku saat ini. Drucker meramalkan munculnya organisasi berbasis informasi yang akan didominasi oleh organisasi layanan yang terdiri dari ‘para spesialis yang mengarahkan kinerja mereka sendiri melalui umpan balik dari kolega, konsumen, dan kantor pusat mereka.’

          Pendekatan manajemen ‘alternatif’ juga sejak beberapa tahun lalu telah menarik perhatian kita. Para penganut Total Quality Management berkata, “Cukup baik berarti belum cukup baik.” Mereka mengasumsikan bahwa semua orang di tempat kerja adalah konsumen. Ketika para pemasar hendak menjual suatu produk, mereka mencari informasi sebanyak mungkin tentang konsumen yang dibidik (siapa mereka, bagaimana kehidupan mereka, apa yang membuat mereka antusias, apa yang mereka butuhkan, dan apa yang tidak mereka butuhkan).

          Ada kaitan apa antara gagasan pemasaran ini dengan manajer SDM? Nah, para manajer sumber daya manusia adalah para pemasar internal. Sebagaimana pemasar eksternal, para karyawan adalah konsumen mereka. Bahkan bisa dikatakan, karyawan adalah konsumen mereka yang sangat istimewa, karena sebagaimana luas diakui bahwa ‘… para karyawanlah yang membuat bisnis bisa berjalan terus. Dan kita perlu ingat pelajaran lama tentang bagaimana budaya mampu mempersatukan semua karyawan serta memberi makna dan tujuan dalam kehidupan mereka sehari-hari’ (Deal dan Kennedy 1982). Buku itu menguraikan korelasi antara sukses perusahaan, karyawan, dan budaya korporat. Secara khusus, buku itu menggedor kesadaran para manajer akan pentingnya pembangunan budaya dan memberikan saran-saran untuk memprakarsainya.

          Argumentasi agar manajer melibatkan dirinya dengan perubahan perilaku sangat kuat (meski mungkin tidak begitu menyenangkan sebagaimana tugas-tugas prosedural, akuntansi dan teknis). Para karyawan selain bisa bersikap emosional, juga mampu berpikir logis. Mereka bukanlah komoditas yang statis. Mereka mungkin saja bekerja ogah-ogahan. Namun sebaliknya mereka juga mampu melepaskan semua katup energi, antusiasme, kegigihan dan sinergi yang mampu membuat keajaiban dengan kemampuan dan kreativitas mereka. Semua itu bergantung pada bagaimana cara mereka dikelola.