Jumat, Oktober 17, 2008

Pembelajar yang buruk


Ciri pertama dari pembelajaran sejati adalah adanya hasrat ingin-tahu dan ketakjuban. Kedua, pengalaman keterbukaan terhadap kemungkinan – kemungkinan baru. Yang ketiga adalah adanya kesadaran bahwa proses pencarian jawaban adalah lebih penting daripada jawaban itu sendiri. Akhirnya, adanya usaha pendekatan terhadap lingkungan yang punya ciri-ciri terbuka terhadap eksperimentasi: upaya memperoleh informasi, analisa informasi tersebut, dan mencari hubungan dan keterkaitan baru.

            Anak – anak pada usia yang sangat muda adalah pembelajar yang sangat baik. Hubungan mereka dengan lingkungannya diwarnai keterbukaan, keingintahuan, dan rasa ketakjuban. Anak terlibat dalam proses eksperimentasi yang kaya, memperoleh pemahaman baru yang mengalir dari keterbukaan terhadap umpan balik ketika berinteraksi dengan lingkungan mereka.

            Cara seorang anak mengalami umpan balik sebenarnya adalah model berfungsinya sistem kehidupan. Manusia dewasa sangat memperhatikan respon lingkungan terhadap perilaku mereka. Mereka cepat belajar untuk menciptakan hubungan sebab dan akibat. Hubungan anak dengan lingkungannya lebih bersifat main – main dan menyenangkan, serta tidak merasa kecil hati ketika sebuah percobaan gagal. Kalau kegagalan terjadi, mereka mencoba lagi.

            Bandingkan perilaku anak – anak ini dengan pengalaman Anda sendiri dalam mengamati perilaku orang – orang dalam organisasi ketika dihadapkan pada kemungkinan baru, sudut pandang yang berbeda, dan umpan balik. Sebagai orang dewasa, kita adalah pembelajar yang buruk, bahkan ada yang menyatakan bahwa dalam belajar, kita lebih buruk dari binatang dewasa. Untuk memahami mengapa demikian, kita harus mempelajari pengaruh – pengaruh yang membentuk hubungan kita dengan pembelajaran, sebagai orang dewasa.

Sabtu, Oktober 11, 2008

Kepemimpinan dan Tipologi Perubahan

Sebelumnya kita telah membahas semua tipologi perubahan dan kaitannya dengan kondisi lingkungan yang mempengaruhinya. Sayangnya, hanya sedikit yang bisa kita temui dalam literatur tentang gaya dan perilaku kepemimpinan mana yang lebih tepat untuk masing-masing jenis perubahan, kecuali bahwa kepemimpinan transformasional lebih cocok untuk perubahan radikal atau frame-breaking change. Selain itu, Dunphy dan Stacey juga mencoba mengaitkan jenis kepemimpinan dengan jenis-jenis perubahan.

          Mungkin menurut Anda, gaya manajemen apapun bisa diterapkan untuk setiap jenis perubahan.  Namun, menurut penelitian Dunphy dan Stace pada sejumlah perusahaan yang menghadapi perubahan lingkungan besar-besaran,  agar perubahan transformasional di tingkatan korporat berhasil maka lebih diperlukan gaya kepemimpinan direktif dan koersif.  

Sementara pada tingkatan operasional (bisnis), mereka menyarankan gaya yang lebih konsultatif untuk memperoleh komitmen karyawan pada tingkatan ini. 

          Secara logika,  gaya manajemen yang lebih konsultatif lebih sesuai untuk perubahan jenis converging dan incremental, yang lebih didorong daya pendorong perubahan lingkungan yang bisa diprediksi dan berkekuatan moderat.  Namun, Strebel mengajukan sebuah model yang tidak sekedar mengaitkan gaya dan pendekatan kepemimpinan  dengan daya pendorong perubahan lingkungan, namun juga mengaitkannya dengan sejauh mana organisasi terbuka terhadap inisiatif perubahan. Alhasil, setiap pembicaraan tentang kepemimpinan dalam perubahan mesti mengikutsertakan kemampuan dan kemauan organisasi untuk tetap tertutup atau terbuka pada prospek perubahan. Memimpin perubahan, karenanya, akan tidak pernah lepas dari upaya mengatasi resistensi pada perubahan, baik resistensi pada tingkatan perusahaan maupun individual.

 

Minggu, Oktober 05, 2008

Formula dan Energi Perubahan

Perubahan jelas menimbulkan resiko, ketidakpastian serta biaya, baik biaya ekonomis maupun psikologis.  Agar supaya komitmen terhadap perubahan bisa tumbuh, perlu dilahirkan visi bersama (shared vision) tentang bagaimana  memperbaiki situasi, dan tujuan bersama (shared aim) menuju  masa depan. Selain itu perlu pula ditumbuhkan pemahaman yang gamblang tentang step-step awal. Jika dirasa satu cara tidak efektif, inisiator harus mampu memvisualisasikan cara yang lebih baik dan melahirkan langkah-langkah yang bisa dilakukan guna mendorong kemajuan menuju visi tersebut. Banyak pakar yakin bahwa menumbuhkan komitmen dan energi perubahan bergantung pada kesemua faktor ini.

          Persamaan perubahan memberi cara pandang yang bermanfaat  guna menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ‘Apakah saya sebaiknya berusaha  membuat perubahan?’ dan ‘Apa lagi yang bisa dilakukan  agar meningkatkan peluang  kita dalam mengintrodusir perubahan secara efektif?’ Kesemua itu tersebut bisa dirumuskan sebagai berikut:

 

EC = A x B x D

 

di mana EC merupakan energi  perubahan, A adalah ketidakpuasan terhadap situasi saat ini, B adalah tingkat pemahaman tentang langkah-langkah praktis awal dan D merupakan visi bersama (shared vision).

          Ketidakpuasan terhadap keadaan masa kini hanya akan membawa energi perubahan yang tinggi apabila dibarengi tingginya tingkat pemahaman terhadap tujuan bersama dan pengetahuan tentang langkah-langkah apa yang mesti dilakukan. Tanpa tujuan bersama dan pengetahuan, ketidakpuasan hanya akan berdampak pada demotivasi, patah semangat, dan rasa apatis. Namun demikian, terdapat persamaan lain agar perubahan bisa terjadi, yaitu:

EC > Z

 

Di mana Z adalah persepsi biaya dalam membuat perubahan (perceived cost of making change).

          Enerji perubahan mesti lebih besar daripada persepsi biaya  membuat perubahan, baik secara ekonomis ataupun psikologis. Nyatanya, jika kita tidak punya tujuan bersama (shared aims) serta tak punya pengetahuan tentang apa yang mesti dilakukan selanjutnya, maka akan timbul begitu banyak ketidakpastian sehingga semua orang mengira bahwa biaya perubahan pastilah tinggi. Saat mendesain dan mengelola perubahan,  perlu dipastikan cara mengintrodusir perubahan maupun dampak perubahan dirancang sedemikian rupa agar bisa mendorong energi  perubahan.