Rabu, Agustus 27, 2008

Kepemimpinan Transformasional dan Perubahan

Sebuah penelitian yang kemudian dibukukan membedakan ciri-ciri kepemimpinan transformasional dengan kepemimpinan transaksional. Beberapa figur yang banyak diperikan sebagai menerapkan kepemimpinan transformasional antara lain adalah Jack Welch, yang pada awal 1980-an mampu menyelamatkan General Electric dari kehancuran. Pada awal 1990-an, figur Lou Gertsner sukses mengentaskan IBM yang nyaris karam didera rugi menjadi perusahaan raksasa yang diburu investor. Mungkin dalam konteks Indonesia, bisa disebutkan figur kuat Dr. Kuntoro Mangkusubroto, mantan direktur utama PT Timah yang berhasil menerapkan strategi turn-around di organisasinya pada era 90-an. Pada situasi lain mungkin tepat pula menunjuk Robby Johan di Bank Mandiri dan Cacuk Sudaryanto di Telkom, yang mampu mengubah perusahaan yang berdarah-darah menjadi berlaba.
Kepemimpinan transformasional mungkin dapat dikhtisarkan oleh pernyataan Tichy dan Ulrich sebagai berikut: “Apabila manajer transaksional hanya membuat penyesuaian-penyesuaian kecil pada misi, struktur dan manajemen S.D.M, maka pemimpin transformasional tidak sekedar membongkar ketiga bidang ini namun juga mendorong perubahan besar-besaran pada sistem politik dan budaya organisasi. Pembongkaran sistem politik dan budaya-lah yang benar-benar membedakan pemimpin transformasional dengan transaksional.”
Penggantian pekerjaan-pekerjaan repetitif dengan mesin, penekanan pada pengetahuan dan kebutuhan pada inovasi menyadarkan para pemimpin untuk menyesuaikan gaya kepemimpinannya agar supaya lebih bersifat kolaboratif ketimbang mengandalkan cara-cara hirarkis.
Hal ini tidak berarti penekanan pada pendekatan lembek atas kepemimpinan kemudian mengabaikan keputusan-keputusan ‘keras’ yang perlu dibuat pada pelbagai situasi tertentu. Pandangan ini bisa dikaitkan dengan strategi perubahan ‘E’ dan ‘O’ menurut Beer dan Nohria. Pendekatan perubahan E lebih didasarkan pada nilai-nilai ekonomis, sementara pendekatan O berdasarkan pada kapabilitas organisasi. Jadi, dalam pendekatan perubahan E (bisa diistilahkan pendekatan keras), nilai menurut pemegang saham adalah satu-satunya ukuran absah sukses perusahaan. Implikasinya adalah acap dipilihnya insentif ekonomis, pemecatan, downsizing, dan restrukturisasi. Pemimpin yang mengadopsi pendekatan O (bisa diistilahkan pendekatan lembek) percaya bahwa mereka mesti mengutamakan pengembangan budaya perusahaan dan kapabilitas s.d.m. melalui pembelajaran individual dan pembelajaran organisasi dalam proses kolaborasi dengan karyawan di semua jajaran.
Menerapkan pendekatan E dan O bergantian sangat muskil bagi kebanyakan pemimpin perubahan. Mengkombinasikan keduanya bisa-bisa hanya memperoleh sisi negatif kedua pendekatan ini. Misalnya, melipatgandakan return bagi pemegang saham melalui pendekatan E bisa-bisa malah membuyarkan komitmen, kerja sama, dan kreativitas yang diperlukan bagi keunggulan bersaing berkelanjutan. Sebaliknya, pendekatan O bisa menyulitkan pengambilan keputusan-keputusan pelik dalam rangka menyelamatkan perusahaan. Beer dan Nohria menyarankan bahwa, kecuali organisasi punya pemimpin-pemimpin yang punya kemampuan, kemauan dan kearifan untuk menerapkan kedua pendekatan ini; lebih baik perusahaan mengurutkan pendekatannya secara bergantian, dengan mengutamakan pendekatan E dulu sebelum kemudian menerapkan pendekatan O.
Pertanyaan yang tetap menggantung adalah: apakah satu pendekatan kepemimpinan tertentu lebih cocok ketimbang pendekatan lainnya tanpa peduli pada tahap-tahap perkembangan organisasi, lingkungan di mana organisasi berada atau situasi orang-orang yang bekerja di dalamnya.

Senin, Agustus 25, 2008

Mengapa Perubahan Organisasi Gagal

Tingginya tingkat kegagalan program perubahan organisasi cukup mengejutkan, mengingat banyaknya saran-saran dan buku-buku panduan perubahan bersifat ‘how to’ yang banyak mewarnai literatur manajemen. Sementara itu, dalam konteks Indonesia bisa dikatakan materi-materi di bidang ini masih sangat terbatas, kecuali buku-buku terjemahan yang mengunggulkan satu jenis program tertentu, misalnya buku tentang rekayasa-ulang, TQM, dll.
Di negara-negara Barat, banyak pengarang di bidang ini menawarkan model-model manajemen perubahan terencana. Walau masing-masing berbeda dalam sudut pandang, kesemuanya menganut pendekatan manajemen perubahan ‘langkah-demi-langkah’ secara sistematis. Umumnya model-model ini terdiri dari sejumlah fase yang dikenal sebagai ‘model generik manajemen perubahan organisasi terencana’,
Tersirat di balik model-model manajemen perubahan adalah ekspektasi bahwa manajer memiliki ‘basis pengetahuan’, dan juga ‘keahlian’ untuk mengelola perubahan secara efektif. Namun, tingginya tingkat kegagalan program perubahan organisasi mengindikasikan bahwa sebenarnya kebanyakan manajer tak memenuhi harapan tersebut. Bukti-bukti dalam literatur manajemen juga menunjukkan adanya sebuah pola yang bisa diprediksi di sebagian besar organisasi yang gagal melaksanakan program perubahan.
Biasanya, program diawali dengan pengumuman inisiatif perubahan baru oleh manajemen puncak, lalu segera diikuti dengan rentetan program pelatihan singkat di seluruh perusahaan agar semua orang ‘siap berlari’, pembentukan komite-komite lintas-fungsional untuk membicarakan ‘langkah maju’ dan kemudian alokasi ulang dan penataan ulang sumber-sumber daya. Namun, melewati proses ini, organisasi dan manajemen kehilangan alasan dan fokus untuk berubah, yang lalu berdampak hilangnya momentum dan sumber daya. Perubahan kemudian gagal. Walau penyebab kegagalan bisa beragam, namun kebanyakan bersumber dari dalam organisasi, antara lain:
· semua orang memandang perubahan sebagai tujuan ketimbang sebagai sebuah proses yang memerlukan perencanaan, persiapan, manajemen proyek dan perhatian yang konsisten,
· visi tentang tujuan jangka pendek maupun jangka panjang tidak jelas
· peninggalan program perubahan organisasi sebelumnya yang gagal karena penanganan buruk menciptakan budaya skeptis dan cenderung menghindari resiko
· gagal memberikan dukungan, pelatihan dan ketrampilan yang diperlukan yang memungkinkan karyawan mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri atas perubahan organisasi
· kurangnya komunikasi menyangkut perubahan termasuk, misalnya, memberi informasi pada karyawan terlalu bertahap, yang beresiko tumbuh-kembangnya gosip negatif.
· Terlalu memfokuskan upaya perubahan secara sempit pada satu aspek organisasi dan mengabaikan ‘keterkaitannya’ pada kehidupan organisasi. Misalnya, investasi pada pelatihan manajemen untuk merubah gaya manajerial namun lalai menyesuaikan sistem imbalan untuk mendukung perubahan yang diperlukan dalam perilaku manajerial.
Kegagalan-kegagalan tersebut merupakan contoh kelemahan atau omission dalam penerapan apa yang disebut sebagai pendekatan ‘best practices’ pada manajemen perubahan terencana. Kerap kali model-model yang ditawarkan bersifat terlalu simplistis dan tidak lebih dari sekedar common sense belaka. Dapat juga merupakan dampak dari kurang ahlinya agen perubahan, termasuk di dalamnya para manajer, instruktur dan konsultan. Selain itu, kegagalan mungkin disebabkan sebab-sebab yang lebih mendasar atau kegagalan dalam memfasilitasi dan mengelola perubahan organisasi.

Jumat, Agustus 15, 2008

Tipologi Perubahan

Titik awal dalam menilai sifat-sifat perubahan organisasi adalah tiga jenis perubahan dari Grundy. Grundy menyebut perubahan jenis pertama sebagai ‘smooth incremental change’, dimana perubahan terjadi secara lambat, sistematis dan dapat diprediksi. Singkatnya, smooth incremental change mencakup rentetan perubahan yang berlangsung pada kecepatan konstan.
Jenis perubahan kedua menurut Grundy adalah ‘bumpy incremental change’. Perubahan ini dicirikan dengan periode relatif tenang yang sekali-sekali disela percepatan gerak perubahan. Pemicu perubahan jenis ini selain mencakup perubahan lingkungan di mana perusahaan beroperasi, juga bisa saja bersumber dari perubahan internal seperti tuntutan efisiensi dan perbaikan metode kerja. Contohnya, reorganisasi yang secara periodik dilakukan perusahaan.
Jenis perubahan ketiga menurut Grundy adalah ‘discontinuous change’, yang didefinisikan sebagai ‘perubahan yang ditandai oleh pergeseran-pergeseran cepat atas strategi, struktur atau budaya, atau ketiganya sekaligus’. Contohnya di negara kita adalah privatisasi sektor strategis yang dulunya dikuasai negara, misalnya privatisasi sektor telekomunikasi atau deregulasi bidang pertelevisian dan penerbangan. Contoh lainnya adalah apa yang disebut Strebel sebagai ‘divergent breakpoint’, yaitu perubahan yang digerakkan penemuan peluang bisnis baru dan ia memberikan contoh lahirnya PC Apple atau Windows pada dua-tiga dekade yang lalu.
Peluang yang muncul berkat kemajuan dan dapat diaksesnya Internet, tidak saja lewat komputer, namun juga melalui perangkat televisi dan telepon selular telah dan akan terus mendorong bentuk-bentuk discontinuous change di banyak perusahaan. Perubahan yang mencakup strategi, struktur (dan hampir selalu, dibarengi perubahan budaya dan dominasi kelompok tertentu) ketika PT Telkom mulai mengadopsi teknologi seluler di awal 1990an atau ketika menghadapi teknologi VOIP adalah contoh discontinuous change (hanya di Indonesia peran pemerintah sebagai regulator masih kental, sehingga banyak BUMN masih bisa berlindung terhadap perubahan berkat faktor regulasi pemerintah). Namun, bukan berarti discontinuous change selalu digerakkan inovasi teknologi. Dalam hal ini, discontinuous change bisa dipadankan dengan perubahan sebagai respon atas pergolakan lingkungan tingkat paling tinggi menurut Ansoff dan Mc Donnell.
Tiga tipe perubahan Grundy memang tampak sederhana dan kelihatannya lebih didasarkan pada pengamatan ketimbang penelitian. Sementara kerangka penggambaran perubahan ala Tushman, Newman dan Romanelli, walau mirip dengan Grundy, betul-betul didasarkan pada penelitian pelbagai perusahaan dan kasus. Mereka menyajikan model kehidupan organisasi yang meliputi masa-masa incremental change, atau convergence, disela dengan discontinuous change.
Tushman dkk. mengajukan dua jenis converging change, yaitu: penyetelan (fine-tuning) dan penyesuaian inkremental (incremental adaptation). Kedua jenis perubahan ini bertujuan menjaga keselarasan (fit) antara strategi, struktur dan proses organisasional. Jika fine-tuning lebih ditujukan untuk memperbaiki aktivitas-aktivitas yang telah berjalan baik, maka incremental adaptation juga mencakup perubahan-perubahan kecil sebagai respon atas pergeseran kecil lingkungan di mana perusahaan beroperasi.
Baik fine-tuning dan incremental adaptation terhadap pergeseran lingkungan memungkinkan perusahaan berkinerja lebih efektif dan mengoptimalkan konsistensi antara strategi, struktur dan proses. Namun, menurut Tushman, seiring perkembangan perusahaan, perusahaan menjadi maju dan mulai mengembangkan daya-daya internal untuk mempertahankan stabilitas, daya-daya yang pada akhirnya justru bisa melahirkan resistensi ketika suatu saat strategi perusahaan harus dirubah. Maka, ketika lingkungan bisnis mengalami perubahan besar-besaran, incremental adaptation tak mampu mendorong perubahan nyata terhadap strategi, struktur, s.d.m. dan proses yang mestinya menjadi keniscayaan. Pada situasi seperti ini, Tushman berpendapat kebanyakan perusahaan akan mengalami discontinuous change atau frame-breaking change. Maka, dalam daur hidup perusahaan manapun, periode-periode relatif tenang mungkin disela oleh periode frame-breaking change (yang mungkin berdurasi lebih singkat).
Kebutuhan akan discontinuous change misalnya dirasakan karena terjadinya fenomena diskontinyuitas industri—perubahan drastis situasi hukum, politik, atau teknologi, yang lalu merubah sifat dan aturan main kompetisi. Hal ini bisa mencakup: deregulasi, substitusi teknologi produk, substitusi teknologi proses, munculnya standar industri baru, atau pergeseran ekonomi secara nyata (contoh: krisis minyak).
Lingkup frame-breaking change meliputi discontinuous change di seluruh bagian perusahaan, lebih merupakan perubahan sistem yang bersifat revolusioner dan cepat ketimbang sekedar perubahan inkremental dalam sistem dan biasanya mencakup reformulasi misi dan nilai-nilai inti, reorganisasi, pembaharuan dalam prosedur, arus kerja, jaringan komunikasi, pola pengambilan keputusan dan masuknya eksekutif baru, biasanya dari luar perusahaan.

Selasa, Agustus 12, 2008

Organisasi adaptif

Champy dan Nohria, penggagas istilah DNA perubahan, pernah mengatakan bahwa sengitnya persaingan global, pasar yang selalu bergolak dan terobosan teknologi akan mendorong organisasi bisnis di masa depan bertransformasi ke bentuk-bentuk yang baru dan akan makin menunjukkan ciri-ciri khas sebagai berikut:
· Berbasis informasi
· Makin terdesentralisir, namun sekaligus makin terjalin lewat teknologi
· Cepat beradaptasi dan sangat lincah
· Kreatif dan kolaboratif, dengan struktur berbasis tim
· Stafnya lebih banyak diwarnai pekerja pakar, dan
· Swa-kendali, yang hanya mungkin terjadi dalam lingkungan yang jelas, kuat dan berbagi prinsip-prinsip kerja dan kepercayaan. Organisasi juga akan menjadi jaringan cair di mana koneksinya selalu berubah bentuk secara terus-menerus nyaris organis, layaknya cabang-cabang sistem syaraf manusia.
Implikasi manajerialnya sungguh fenomenal, khususnya menyangkut bagaimana cara manusia dikelola dalam organisasi cair ini. Menurut Barnham, dkk., manajer sudah waktunya meninggalkan gaya manajemen ‘perintah dan kendali’ yang telah menjadi ciri hirarki tradisional dan struktur birokratis. Sebagai gantinya, mereka mesti lebih peka pada daya dan pengaruh eksternal, lebih peduli pada hubungan lateral ketimbang vertikal, menerapkan kepemimpinan yang mampu menggerakkan dan memberi semangat karyawan, lebih komit untuk meraih kinerja puncak, lebih berorientasi ke masa depan dan siap mengantisipasi, mengambil inisiatif dan merespon perubahan. Lebih lanjut, mereka perlu mempertajam kemampuan TI-nya secara efektif, agar mampu mengantisipasi perubahan lingkungan ekonomi, sosial dan politik, sehingga mereka mampu mengelola struktur organisasi kompleks dan jaringan cair tersebut.
Kondisi lingkungan bisnis menjadi semakin sulit diprediksi secara linier, karena memang fenomena linieritas sudah tidak berlaku dalam lingkungan yang makin turbulen. Penetrasi variable eksternal kedalam sistem organisasi, hanya mungkin direspon dengan baik bila pengelolaan usaha tidak lagi atas dasar business as usual. Menurut De Geus, banyak perusahaan tak mampu menjaga kelangsungannya karena di tengah dinamisnya perubahan mereka gagal membaca, menangkap, dan mengidentifikasi sinyal-sinyal perubahan. Oleh karena itu saat perubahan benar-benar terjadi, mereka tidak siap menghadapinya karena struktur internalnya memang terlambat dan tak mampu melakukan penyesuaian. Perusahaan-perusahaan yang mampu bertahan hidup berpuluh tahun umumnya sensitif dan adaptif terhadap perubahan lingkungan. Mereka selalu merubah diri mendahului perubahan.

Dilusi merek

Sebagai dampak peluncuran extended product, citra merek yang sudah lama terbangun bisa mencair dan kabur di mata konsumen. Gara-gara extended product, nama merek bisa-bisa tak lagi membangkitkan asosiasi (produk) tertentu, sehingga terjadilah dilusi merek.
Contoh extended product yang mungkin bisa mendilusi merek adalah ekstensi merek Harley-Davidson. Memakai nama merek ini diluncurkanlah rokok, bir, aftershave, crayon dan cafĂ©. Citra merek Harley-Davidson bisa dirumuskan sebagai ‘tangguh’ dan ‘maskulin’. Dari pola asosiasi ini, misalnya, produk aftershave murahan dengan nama HD nampaknya akan merusak citra merek Harley-Davidson. Untungnya menurut riset Roedder John dkk., extended product yang tergolong dalam kategori produk yang benar-benar berbeda dari flagship product tak begitu berdampak pada dilusi merek.
Roedder John dkk. mencoba mengotak-atik dua dimensi: jarak produk antara flagship product dan extended product (kecil vs besar) dan perbedaan proposisi antara kedua produk (kecil vs besar). Bila perbedaan proposisi besar, bahaya dilusi merek tidak perlu dikawatirkan, namun hanya jika jarak produk antara flagship dan extended product besar. Jadi aftershave Harley-Davidson akan sangat mungkin tidak mendilusi nilai merek Harley-Davidson. Barangkali konsumen cukup cerdas untuk menalar bahwa kualitas aftershave Harley-Davidson tidak berpengaruh pada kapasitas HD membuat sepeda motor bagus.
Sebaliknya, dilusi merek bisa terjadi apabila perbedaan proposisi kedua produk besar dan jarak produknya kecil. Dalam kasus HD hal ini bisa terjadi jika, misalnya, scooter dijual dengan nama merek Harley-Davidson. Karena scooter lebih cocok untuk gaya-hidup yang berbeda, maka meskipun jarak produknya kecil, perbedaan proposisinya besar. Sebenarnya, akhir 1950an, Harley-Davidson memperkenalkan HD Topper, motor scooter dengan bodi fiberglass dan cat two-tone dan mengiklankannya sebagai ‘tops in beauty and tops in performance’. Beberapa tahun berikutnya, Topper ditarik dari pasaran. Menurut Roedder John dkk, ekstensi yang dimiliki HD Topper lebih berdampak pada dilusi merek Harley-Davidson dibanding produk semacam aftershave.
Gara-gara dilusi merek, ekstensi malah membuat konsumen kehilangan sentuhan (touch) dengan merek. Karena pelanggan loyal tidak begitu berminat pada extended product, maka mereka bisa saja mengubah pola pembeliannya. Agar tidak tejadi fenomena kerenggangan ini, pemasar perlu menimbang satu kriteria relevan saja, yakni extended product mesti sesuai dengan asosiasi inti merek, dan lebih baik lagi kalau extended product mampu mengangkat atau memperkuat profil asosiasi inti merek itu lebih lanjut. Jadi dalam hal strategi ekstensi ‘jangan terlalu tamak’.

Sabtu, Agustus 09, 2008

Ekuitas Merek

Kendati perannya telah terhitung sejak lama, namun baru pada abad 20 merek dan asosiasi merek menjadi begitu penting bagi pemasar. Bisa dikatakan pemasaran modern diwarnai oleh penciptaan berbagai merek. Pemasar saat itu mulai mengandalkan riset untuk membantu mereka merumuskan dan mengembangkan basis diferensiasi merek. Penggunaan atribut, nama, kemasan, strategi distribusi, dan iklan diyakini bisa memantapkan asosiasi merek yang unik. Sejak saat itu, terjadi pergeseran besar-besaran dari komoditas menjadi produk bermerek. Alhasil dalam membeli sebuah produk, konsumen tidak lagi sekedar berpatokan pada tinggi rendahnya harga, namun lebih melihat basis diferensiasi merek. Sejak itu pertumbuhan merek baru makin bertumbuh pesat. Ribuan merek baru dilansir tiap tahunnya.
Nah, kini kita tahu beda antara merek dan produk, namun tahukah anda bahwa perlu waktu berpuluh tahun untuk menyadari perbedaan ini secara eksplisit dalam ilmu pemasaran? Kalau kita runut ke belakang, maka pakar pertama yang menjlentrehkan perbedaan ini adalah Gardner dan Levy yang menulis artikel pada tahun 1955 dengan judul ‘The product and the brand’.
Merek punya nilai tertentu bagi perusahaan, dan nilai itu bisa saja berlipat-ganda dari nilai real estate, gedung dan mesin-mesin milik perusahaan. Mungkin karena itulah banyak pakar mempertanyakan apakah entri di neraca (seperti mesin atau gedung) cukup memberi gambaran realistik mengenai nilai perusahaan sebenarnya. Tak heran kalau sebagian pakar mendesak dimasukkannya nilai merek dalam neraca. Berseberangan dengan itu adalah mereka yang berpendapat bahwa terlalu sulit menentukan nilai merek yang sebenarnya.
Mudahnya, nilai merek bagi perusahaan kita sebut ‘ekuitas merek’. Di awal tahun 1980an istilah ini makin populer di kalangan finansial Amerika. Awalnya, ekuitas merek lebih dianggap sebagai aset (finansial) yang penting bagi perusahaan sehingga ekuitas merek bisa ditafsirkan sebagai nilai finansial merek. Pertengahan 1980an, istilah ‘ekuitas merek’ juga menjadi perhatian dunia pemasaran. Di dunia pemasaran, ekuitas merek selain diakui mampu menjanjikan keuntungan finansial, sekaligus juga berarti manfaat manajemen dan stratejik. Pakar lain menggunakan istilah ‘ekuitas merek’ guna menunjukkan nilai merek di mata konsumen. Akhir tahun 1980an, dunia pemasaran di Barat diwarnai dengan diskusi yang membahas metode ekuitas merek sebagai tema sentral. Langkah awal menuju konseptualisasi nilai merek bagi perusahaan ditulis oleh David Aaker dalam bukunya, Managing Brand Equity, terbit tahun 1991.
Makin sengitnya persaingan sejak dekade 1980an, lalu tuntutan pasar yang cepat berubah serta makin kuatnya kekuatan peritel dan juga dampak tekanan investor, membuat profiteering menjadi tujuan utama perusahaan. Investor atau pemegang saham kerap tak sabar pada reward tertunda, sehingga investasi merek jangka panjang tak begitu diprioritaskan. Pada tahun 1990an fenomena ini mendorong reorganisasi portofolio merek, merek yang tak-menguntungkan disingkirkan atau dijual. Bagi merek-merek lain, upaya jangka pendek (seperti promosi penjualan) sering menjadi solusi dari kemauan investor dan ancaman eksternal. Karena lebih bersifat jangka pendek, para manajer bergelar MBA itu kadang diolok-olok sebagai ‘Murderers of Brand Assets’. Karenanya Aaker mengusulkan adanya brand equity managers yaitu pejabat yang diberi wewenang guna mencegah nilai merek makin tergerus. Konsep brand equity managers ini menunjukkan bahwa merek sukses diakui sebagai aset penting perusahaan.
Definisi merek juga berubah dari merek sebagai product-plus menjadi merek sebagai konsep. Dulu, merek adalah pelengkap produk: pabrikan membuat produk dan lalu sebuah nama dilekatkan, yang kemudian perlu dibuat bermakna di mata konsumen (merek sebagai product-plus). Namun, kini tak sedikit kita jumpai perusahaan yang mengembangkan konsep yang mereka harapkan bisa memikat kelompok konsumen tertentu (merek sebagai konsep). Konsep ini disusun dan diterjemahkan dalam strategi komunikasi. Baru setelah itu dicari produk dan pabrikannya (maka merek lebih dilihat sebagai konsep independen, yang dapat dikaitkan dengan sejumlah produk). Pendekatan brand-as-a-concept menjadi makin penting akhir-akhir ini; contohnya The Body Shop. Menurut pandangan lama, strategi perusahaan adalah ‘product-driven,’ dan menurut paradigma baru, strategi lebih bersifat ‘market-driven.’
Inti pendekatan brand-as-a-concept adalah bahwa pemasar lebih dulu membuat konsep menarik dan kuat yang tidak terlalu berakar pada keunggulan produk tapi lebih ke lifestyle yang bisa diasosiasikan dengan merek (Nike, Swatch, dll.). Pendekatan brand-as-a-concept juga menyiratkan adanya pergeseran pemasaran dari manajemen transaksi ke manajemen relasi (relationship marketing), di mana merek menjadi link penghubung antara pemilik merek dan pengguna merek.

Selasa, Agustus 05, 2008

Pembelajaran dua putaran (Double Loop Learning)

Membangun nilai-nilai organisasi yang dapat mendorong terjadinya pembelajaran terus-menerus di dalam organisasi merupakan tugas para pemimpin organisasi. Proses pembelajaran organisasi ini merupakan esensi dari manajemen pengetahuan. Persepsi tentang bagaimana organisasi atau perusahaan dideskripsikan, dirancang dan dikelola telah mengalami pergeseran karena tuntutan teknologi, tekanan pasar dan kompetisi. Juga karena sebagian perubahan kini dikaitkan dengan dampak perubahan yang bersifat diskontinyu, kecepatan perubahan dan kompleksitas. Belum lagi, isu-isu seperti pengelolaan diversitas, dampak lintas budaya dan gender, yang kesemuanya itu memunculkan tantangan-tantangan baru bagi perumusan-ulang organisasi. Kesemua itu memunculkan tuntutan baru untuk ‘belajar cara belajar’ (learn how to learn).
Argyris dan Schon membuat dua kategori jenis pembelajaran yang terjadi di dalam organisasi. Pembelajaran satu putaran (single-loop learning) adalah pembelajaran yang membawa ke arah peningkatan kinerja organisasi dengan cara menemukan dan memperbaiki kesalahan berdasarkan pada kumpulan norma-norma dan nilai-nilai, atau suatu teori yang berlaku. Dalam konteks ini, single-loop learning, adalah sesuai dengan rutinitas, pekerjaan yang berulang, di mana sasarannya sudah jelas dan telah ditentukan untuk tujuan yang telah ditetapkan dalam perencanaan strategis.
Single-Loop learning adalah penetapan secara langsung tujuan dan sasaran pada suatu titik di mana sasaran tersebut terukur dan berorientasi pada hasil; pekerjaan (kegiatan, program, kebijakan) mengarah pada sasaran; dan mengukur hasilnya dengan memperbandingkan capaian kinerja (performance results) dengan kinerja yang direncanakan (performance plan). Proses perbandingan tersebut mendorong manajer untuk menilai keberhasilan atau kegagalan, meneliti faktor dan proses kinerja yang menjadi penyebab dan bagaimana memperbaiki/merubahnya. Singkatnya, single-loop learning memenuhi organisasi untuk meyakinkan hal yang sama lebih baik.
Sejarah manajemen mencatat bahwa single-loop learning telah lama dipraktekkan secara implisit didalam organisasi, misalnya perhatian pada perbaikan inkremental terhadap produk, pelayanan, dan teknologi, yang kerapkali berpijak pada kesuksesan masa lalu. Para karyawan bekerja mengikuti prosedur baku, perilaku rutin, dan menghindari resiko perbedaan opini, eksperimentasi, dan kegagalan. Organisasi melakukan perubahan tetapi dalam skala yang sempit, karena lebih terpaku pada norma-norma, nilai-nilai dan asumsi-asumsi yang berlaku. Prosedur kerja diterima dan dikerjakan sebagaimana adanya dan anggota organisasi tidak pernah mempertanyakan mengapa harus memakai prosedur seperti itu. Prosedur kerja yang berlaku jarang atau tidak pernah dipertanyakan, artinya konseptual sudah melekat dengan rutinitas (kebiasaan).
Pembelajaran dua putaran (Double-Loop learning) adalah pembelajaran yang mendorong perubahan dalam nilai-nilai theory-in-use, seperti asumsi-asumsi dan strategi. Asumsi dan strategi berubah secara bersamaan dengan atau sebagai suatu konsekuensi perubahan di dalam nilai-nilai. Double-Loop learning memiliki aspek destruktif yang selalu mempertanyakan norma-norma, nilai-nilai dan asumsi-asumsi yang berlaku. Semestinya norma, strategi, dan sasaran yang berlaku perlu digali lebih dalam lagi, dipertanyakan kembali, dan dikoreksi untuk mendorong kinerja tinggi organisasi.
Double-Loop learning terjadi ketika para anggota organisasi menguji dan mengoreksi asumsi-asumsi dasar yang menyokong misi dan kebijakan inti mereka. Dengan demikian menjadi lebih relevan bagi survival organisasi dibandingkan hanya efisiensi jangka pendek. Pembelajaran ini menyiratkan suatu keinginan untuk menengok kembali misi, sasaran, dan strategi organisasi secara reguler.

Perubahan, sebuah keniscayaan

Semua organisasi binis kini menghadapi lingkungan yang makin dinamis dan senantiasa berubah. Lingkungan eksternal organisasi cenderung merupakan kekuatan yang mendorong untuk terjadinya perubahan. Di sisi lain, anggota organisasi secara internal menyadari kebutuhan akan perubahan. Bahkan lebih dari itu, tidak sedikit organisasi bisnis atau perusahaan menghadapi pilihan antara berubah atau mati tergilas oleh kekuatan perubahan. Banyak organisasi yang pernah berjaya beberapa puluh tahun yang lalu sekarang hilang tinggal menjadi kenangan. Dewasa ini tidak ada satu organisasi pun yang kebal terhadap perubahan. Bahkan dapat dikatakan organisasi akan karam tenggelam apabila tidak bersedia menyesuaikan diri terhadap gejolak perubahan lingkungan.
Untungnya, semakin banyak pemimpin bisnis mulai menyadari bahwa yang mereka akan hadapi di masa depan bisa saja berbeda dengan apa yang mereka alami di masa lalu dan kini sedang bekerja keras membangun organisasi adaptif. Segera akan berlalu hari-hari ketika perusahaan mengandalkan pada satu orang atau satu bagian khusus yang memfokuskan diri memikirkan masa depan organisasi sementara semua orang lainnya tak merasa perlu memikirkan masa depan dan hanya fokus pada masa kini. Para pemimpin bisnis kini sadar bahwa yang mereka perlukan adalah bagaimana setiap orang di semua jajaran organisasi bisa memikirkan gagasan-gagasan inovatif. Mereka kini makin sadar bahwa perusahaan memerlukan semacam Inovation Roadmap dan sejumlah rencana aksi untuk memastikan dukungan semua anggota organisasi pada gagasan-gagasan inovatif.
Namun demikian, mewujudkan organisasi yang inovatif bukanlah pekerjaan semalam. Misalnya, sangatlah sulit membujuk orang agar mau meninggalkan cara-cara lama dan kecenderungan untuk terus terkungkung pada norma-norma industri. Perlu kerja keras untuk menyadarkan orang agar mengakui bahwa apa yang mereka lakukan selama ini sudah tidak memadai lagi. Perlu kerja keras agar orang-orang menanggalkan ikatan emosionalnya pada “yah beginilah cara kami bekerja di sini” dan bersedia melompat pada cara dan mindset yang baru.
Sayang sekali, dalam upaya agar tak tertinggal dalam mengadopsi konsep-konsep baru yang bisa mengatasi masalah-masalah tertentu, para pemimpin bisnis kerap melupakan gambar yang lebih besar. Alhasil, banyak perusahaan hanya memfokuskan enerjinya pada bagian tertentu dari keseluruhan gambaran masalah. Kecenderungan banyak perusahaan adalah sekedar mengembangkan program-program spesifik semata, misalnya manajemen mutu terpadu (TQM) untuk memperbaiki mutu produk, teknologi informasi untuk menekan jumlah karyawan, atau program penurunan biaya agar harga produk dapat ditekan.
Di tengah gencarnya gerakan mutu, banyak perusahaan akhirnya mendapati bahwa perbaikan kualitas tak selalu memberi garansi pada kinerja keuangannya lantaran kini konsumen tidak sekedar menuntut mutu dan harga murah, namun juga inovasi. Sebagai ilustrasi, Florida Power and Light merosot kinerja pasarnya, justru tak lama setelah menjadi perusahaan non-Jepang pertama yang meraih piala penghargaan bidang kualitas, Deming Award yang prestisius.
Motorolla juga satu perusahaan yang pertama-tama sukses meraih U.S. Baldridge Award untuk kualitas. Namun demikian, pada pertengahan 1990-an Motorola begitu memfokuskan energinya untuk memperbaiki teknologi analognya sehingga lalai dan terlambat merespon permintaan pelanggan terhadap telepon seluler digital.
Tidak jarang dalam bisnis di mana para pemimpin atau manajemen luput mewaspadai perkembangan penting di industri mereka dan seseorang atau sebuah perusahaan dari antah berantah muncul merebut pasar atau bahkan melakukan redefinisi pada industri tersebut. Industri jam adalah contoh klasik dimana bisa disaksikan pola ini berulang dan berulang lagi. Meski Swiss adalah penemu teknologi kuarts dan garpu tala, namun mereka sendiri tak mengeksploitasi potensi teknologi ini. Mereka tetap tak beranjak dari konsep tradisional mereka tentang jam. Justru perusahaan seperti Bulova yang akhirnya sukses mengeksploitasi garpu tala dan Seiko mengeksploitasi kuarts. Sedangkan Timex mampu merubah sifat jam, dari bentuk perhiasan yang dulunya hanya dimiliki segelintir orang kaya kini menjadi produk massal biasa. Juga atas saran konsultan asinglah, Swiss akhirnya mampu melihat peluang pada pasar arloji murah tapi modis, yang kini kita kenal sebagai Swatch.
Fenomena ini tidak terjadi di industri jam saja. Di industri komputer, bukan Xerox atau IBM yang mampu mengenali potensi PC, namun justru dua pemuda di sebuah garasi. Dalam hal sepeda motor, bukan produsen-produsen mapan dari Eropa dan Amerika yang melihat peluang pasar bagi sepeda motor kecil atau sepeda motor off-road, namun justru perusahaan-perusahaan Jepang yang ketika itu relatif kurang dikenal. Kita juga melihat bahwa bukanlah CBS, ABC atau NBC yang melihat peluang pasar bagi televisi berita dua-puluh-empat-jam, tetapi sebuah perusahaan teve kabel kecil – CNN. Bisa dikata, penggerak di balik maraknya Internet bukanlah pemain mapan di bisnis komputer atau telekomunikasi, namun justru perusahaan-perusahaan pemula seperti Netscape, Amazon, American Online, Google dan Yahoo!
Harga yang harus dibayar perusahaan-perusahaan mapan itu kerapkali tidak hanya sebatas kehilangan pangsa pasar, namun tidak jarang menyangkut hidup-matinya perusahaan. Jadi waspadalah perusahaan dan pemimpinnya yang hanya sibuk meningkatkan produktivitas semata dan mengabaikan perkembangan-perkembangan baru yang justru akan mampu merubah dunia mereka. Perubahan yang terjadi selama ini terangkum dalam pendapat Jones, Palmer, Osterweil dan Whitehead ketika menulis:
“Saat kita melangkah ke abad ke-21, kecepatan dan skala perubahan yang dituntut dari organisasi serta orang-orang yang bekerja di dalamnya, amatlah dahsyat. Kompetisi global serta datangnya era informasi, ketika pengetahuan merupakan sumber daya terpenting, telah mengobrak-abrik dunia kerja. Sama seperti saat generasi nenek moyang kita yang harus menyesuaikan proses, ketrampilan dan sistem dari era pertanian agar mampu memenuhi tuntutan era industri, kini kita sendiri juga mesti menyesuaikan cara-cara kerja di era industri agar mampu memanfaatkan berbagai peluang yang terbuka di era informasi. Organisasi dituntut agar terus memperbaharui diri dan berpindah dari struktur tradisional ke struktur model baru yang lebih dinamis yang memungkinkan para karyawan mengkontribusikan kreatifitas, energi, dan gagasan-gagasan mereka…”